Mengenal darah-darah yang keluar dari rahim wanita


Darah yang keluar dari rahim wanita ada tiga jenis : Darah haid, darah istihadhoh dan darah nifas . Darah haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita semenjak menginjak masa baligh yang datang pada waktu-waktu tertentu (tetap),berwarna kehitaman dan panas . Darah Istihadhoh adalah darah yang mengalir dari bagian bawah rahim yang disebabkan oleh urat yang terputus, adapun darah nifas adalah darah yang keluar dari rahim pada saat melahirkan dan beberapa waktu sesudah melahirkan.

Sebagaimana jenis darahnya berbeda, maka tentunya juga ada perbedaan hukum syar'i pada wanita yang medapatkannya. Diantara perbedaannya yaitu wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan mengerjakan sholat, puasa, thawaf, menyentuh Al-Qur'an , serta tidak boleh didatangi pada farjinya . Adapun membaca Al-Qur'an dari hapalannya tanpa menyentuh Al-Qur'an maka menurut pendapat yang kuat di kalangan ulama hal itu diperbolehkan. Sedangkan wanita yang sedang mengalami istihadhoh sebagaimana wanita yang sedang suci, diperbolehkan mengerjakan ibadah-ibadah yang terlarang bagi orang yang haid seperti sholat, berpuasa dan ibadah lainnya. Akan tetapi bolehkan seorang wanita yang sedang istihadhoh didatangi pada farjinya ?? , terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, dan pendapat yang benar adalah diperbolehkannya hal tersebut. Berkata Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah : "(Pendapat) yang benar : Wanita yang sedang Istihadhoh boleh didatangi secara mutlak, Dan Sholat lebih agung" (Ta'liq Ar-Rhaudul Murbi')

Dan pendapat ini sangat kuat, apabila orang yang sedang istihadhoh diizinkan untuk melakukan sholat tentunya lebih diizinkan lagi untuk didatangi karena sholat adalah perkara ibadah yang sangat agung dan tidak bisa dibandingkan dengan perkara jima' (Bersenggama).

Adapun wanita yang sedang nifas hukumnya sebagaimana wanita yang sedang haid, diperintahkan untuk meninggalkan sholat, puasa, thawaf , menyentuh Al-Qur'an dan tidak boleh didatangi pada farjinya.

Berkata Ibnu Hazm Rahimahullah : "Dan darah nifas menjadikan terhalang apa-apa yang terhalang darinya darah haid, Dan perkara ini tidak ada yang menyelisihinya seorang pun" ( Al-Muhalla, 1 / 400)

Akan tetapi bagi wanita yang telah selesai mengalami masa haid dan nifas diperintahkan untuk mengqodho (mengganti) puasa wajib yang mereka tinggalkan dan tidak diperintahkan untuk mengqodho sholat.  Sebagaimana hadits dari Aisyah Radhiyallahu'anha : " Sesungguhnya kami mengalami haid maka kami diperintahkan untuk mengqodho puasa dan tidak diperintah untuk mengqodho sholat " (Mutaffaqun Alaih)

Untuk mengenali dan membedakan antara darah-darah ini, maka ulama telah menyebutkan beberapa perbedaannya, mengenai darah nifas tentunya sudah dapat dikenali dengan waktu kedatangannya yakni datang saat seorang wanita melahirkan dan beberapa waktu sesudahnya. Adapun antara darah haid dan istihadhoh sering menjadi kendala bagi para wanita untuk membedakannya. Berikut beberapa perbedaan yang disebutkan oleh ulama tentang perbedaan antara darah haid dan darah istihadhoh.

Pertama : Darah haid berwarna kehitaman adapun darah istihadhoh berwarna merah

Kedua : Darah haid kental dan pekat sementara darah istihadhoh encer

Ketiga : Darah haid berbau anyir dan kurang enak sedangkan darah istihadhoh memiliki bau sebagaimana bau darah pada umumnya

Keempat : Darah Haid tidak dapat lagi membeku (mengkristal) ketika telah keluar dari rahim karena pada asalnya di rahim sudah membeku sehingga ketika keluar tidak membeku lagi untuk kedua kalinya. Darah istihadhoh sebaliknya, membeku ketika telah berada di luar rahim.

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masa paling lama dan paling sedikit seorang wanita mengalami haid. Sebagian mengatakan paling sedikit adalah sehari semalam dan paling lama adalah lima belas hari . Ini adalah pendapat Atha', Imam As-Syafi'i, Imam Ahmad dan Abu Tsaur Rahimahumullah . Sebagian lagi mengatakan Paling sedikit tiga hari dan dan dan paling lama sepuluh hari, ini adalah pendapat At-Tsauri, Abu hanifah dan abu Yusuf Rahimahumullah . Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah tidak adanya batasan paling sedikit atau paling lama masa haid, kapan saja darah masih mengalir dan datangnya secara tetap dan beraturan setiap datangnya maka terhitung dalam masih haid dan kapan saja darah terhenti maka telah suci. Pendapat yang terakhir ini adalah pendapat Imam As-Syaukani, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahumullah. Adapun pendapat yang membatasi dengan waktu-waktu tertentu teranggap lemah karena tidak datang dengan dalil. Sedangkan masa terlama seorang wanita mengalami nifas adalah empat puluh hari, berdasarkan hadits yang datang dari Ummu Salamah Radhiyallahu'anha , beliau mengatakan : "Wanita-wanita yang mengalami nifas pada zaman Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam duduk (tidak mengerjakan ibadah-ibadah yang dilarang) selama empat puluh hari" . Hadits ini diriwayatkan oleh Imam, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Daruquthny dan Al-Hakim Rahimahumullah . Datang juga riwayat semakna dari Anas bin Malik, Abdullah bin Amr' bin Ash dan Utsman bin Amr' bin Ash Radhiyallahu'anhum . Sebagian ulama mengatakan hadits ini lemah, akan tetapi Imam As-Syaukani Rahimahullah mengatakan bahwa riwayat yang satu saling menguatkan riwayat yang lainnya sehingga beliau menjadikannya sebagi dalil untuk menguatkan pendapat bahwa masa terlama nifasnya seorang wanita adalah 40 hari (Lihat Ad-Darori Al-Mudiyah, Kitab Al-Haid)

Sehingga apabila darah tetap terus mengalir melebihi empat puluh hari semenjak hari melahirkan, maka darah yang keluar tersebut teranggap sebagai darah fasad (rusak) dan dihukumi sebagaimana darah istihadhoh.

Dan selama masa nifas ini yakni empat puluh hari , dihukumi semua darah yang datang adalah darah nifas dan tidak datang pada masa-masa itu darah haid dan istihadhoh sedangkan apabila darah telah terhenti sebelum empat puluh hari, maka wanita tersebut telah suci dan boleh mengerjakan apa-apa yang tadinya terlarang untuknya. Sedangkan istihadhoh tidak memiliki batasan masa terlama, sebagaimana Ummu Habibah bintu Jahsyi Radhiyallahu'anha yang mengalami istihadhoh pada zaman Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam selama tujuh tahun (Hadits dari Aisyah Radhiyallahu'anha, Muttafaqun Alaih).

Sabagian wanita yang telah berusia senja terkadang datang pada mereka darah secara tidak tetap dan tidak beraturan, terkadang datang sebulan sekali, lalu setelah itu datang dalam jangka dua bulan kemudian datang tiga bulan sekali , maka apabila keadaan seperti ini dialami oleh wanita yang berusia di atas lima puluh tahun maka darah tersebut adalah darah fasid (rusak) dan bukan darah haid sehingga boleh bagi dia mengerjakan amalan-amalan yang terlarang bagi wanita yang sedang haid sebagaimana wanita yang sedang istihadhoh dan diwajibkan dia untuk berwudhu setiap kali hendak sholat pada masa datangnya darah fasid itu walaupun wudhunya belum batal.

Apabila datangnya darah pada wanita berusia senja tersebut (diatas lima puluh tahun) datang secara beraturan dan tetap, misalkan datang setiap dua bulan sekali dan tidak berubah, maka dihukumi sebagai darah haid. Wallahu A'lam (Ta'liq Ar-Rhaudul Murbi, Ibnu Baaz Rahimahullah).

Ada permasalahan yang sering terjadi di kalangan para wanita, yaitu seorang wanita kedatangan darah yang dia mengetahui bahwa darah tersebut adalah darah istihadhoh akan tetapi datangnya pada masa-masa haidnya, maka bagaimana hukumnya ???? apakah dia beramal sebagaimana wanita yang sedang haid atu ataukah sebagaimana sebagai wanita yang sedang istihadhoh ???

Ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat pertama mengatakan untuk berpegang kepada adat kebiasaan sang wanita dan tidak berpegang kepada yang dia dapati dari darah tersebut, maknanya yakni apabila darah tersebut datang di masa-masa haid maka dia beramal sebagaimana wanita yang haid walaupun dia mengenali bahwa darah tersebut bukan darah haid. Ini adalah salah satu pendapat yang terkenal dari madzhab Al-Hanabilah dan salah satu sisi dari madzhab As-Syafi'iyah. Ulama yang berpendapat seperti ini antara lain : Ishaq, Abu Hanifah, Al-Auzai dan Sufyan At-Tsauri Rahimahumullah.

Pendapat yang Kedua, adalah kebalikan dari pendapat yang pertama, yaitu berpegang kepada darah yang yang dia kenali tersebut, apabila dia mengenalinya sebagai darah istihadhoh maka dia beramal sebagaimana wanita yang sedang istihadhoh walaupun datangnya pada masa-masa haid. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dan pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, yaitu selama darah itu keluar pada masa-masa haidnya maka hukumnya dia teranggap sebagaimana wanita yang sedang haid, maka dia diperintahkan untuk meninggalkan ibadah-ibadah tertentu selama masa haidnya tersebut misalnya selama delapan hari, adapun setelah itu maka dia harus mandi dan kemudian dihukumi sebagaimana wanita yang sedang Istihadhoh . Salah satu dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadits Aisyah Radhiyallahu'anha : " Sesungguhnya Fatimah Bintu Abi Habisy bertanya kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam : "Sesungguhnya aku sedang mengalami Istihadhoh dan aku belum suci (sedang haid), apakah boleh aku tidak mengerjakan sholat ??" Maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam menjawab : "Sesungguhnya itu adalah urat (yakni, disebabkan urat.Wallahu A'lam) akan tetapi tinggalkanlah sholat sebatas masa-masa engkau haid. Kemudian mandilah dan kerjakanlah sholat" ( Muttafaqun Alaih).

Wallahu A'lam


Catatan Oleh : Ibnu Dzulkifli As-Samarindy

Sumber catatan :

Ta'liq Ala Umdahtil Ahkam, Syaikh Zayyid Al-Wushoby Hafidhahullah

Ar-Rhaudul Murbi, Manshur Al-Buhuty (Ta'liq Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah)

Ad-Duroril Mudiyah, Imam As-Syaukani Rahimahullah