Hukum yang terkait dengan sebab apabila telewat ??

Termasuk dari Qowaidhul  Fiqih yang disebutkan oleh Al-Allamah Ibnu Utsaimin Rahimahullah adalah :


“ Hukum yang terkait dengan sebab apabila tertinggal (terlewat) sebabnya maka hilanglah hukumnya “ (As-Syarhul Mumti’ 1/327)



Penjelasan :


Beliau berbicara tentang sujud syukur, Sujud syukur disyariatkan ketika seorang hamba menerima sebuah nikmat besar dan inilah sebab disyariatkannya sujud syukur dan tentunya tidak diketahui kapan datangnya hal tersebut dan terkadang datangnya secara tiba-tiba. Sehingga terkadang seseorang mendapatkan nikmat ini dalam keadaan sedang berhadats. Maka Apabila disyaratkan dalam sujud syukur untuk berwudhu maka terkadang dibutuhkan senggang waktu yang lama antara datangnya nikmat tersebut dan sujud syukur yang dia lakukan..


Oleh sebab itu beliau berpendapat bahwa dengan menggunakan kaidah yang telah disebutkan bahwa tidak disyariatkan dalam sujud syukur harus dalam keadaan suci. Karena apabila terlewat sebabnya maka hilanglah hukumnya

Jenis-jenis Al-Qolam (Pena)

Pena atau Al-Qolam ada 4 jenis :


Pertama ,Pena takdir yang menuliskan takdir seluruh mahluk Allah, tidak terbatas hanya takdir manusia saja. Sebagaimana dalam hadits Ubadah bin Shamit Rhadiyallahu ‘anhu , beliau telah berkata : Aku telah mendengar Rasulullah Sholallahu alaihi wassalam berkata :


إن أول ما خلق الله القلم فقال اكتب قال رب وماذا أكتب قال اكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة


“Sesungguhnya yang pertama diciptakan Allah adalah Al-Qolam (pena), kemudian Allah berfirman kepada pena (tersebut) :”Tulislah “ maka pena menjawab “ Wahai Rabb dan apakah yang aku tulis ?” maka Allah berfirman “ tulislah takdir segala sesuatu hingga ditegakkannya hari kiamat “


(HR. Ahmad,Abu Dawud, Dishohihkan Al-Alammah Al-Albani dalam Syarh At-Thohawiyah Hal. 264 dan Oleh Al-alammah Al-Wadi’iy dalam Jami’us shohih fil Qodr Hal. 102-103. datang pula dari tiga sahabat lainnya)


Kedua, Pena yang diciptakan ketika diciptakannya Adam alaihi salam, pena ini khusus untuk takdir bani adam atau manusia


Ketiga, Pena ketika diutusnya malaikat ke dalam janin yang berada dalam perut seorang ibu, untuk menuliskan empat perkaranya . Sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud Rhadiyallahu ‘anhu.


بكتب رزقه، وأجله، وعمله، وشقيُّ أو سعيد


“Dengan dituliskan rezekinya, ajalnya, amalannya dan beruntung atau celakanya dia” (HR. Bukhari 3309 dan Muslim 2643)



Keempat : pena yang berada di tangan malaikat pencatat amalan yang mengikuti manusia semenjak dia baligh. Sebagaimana dikabarkan oleh Allah dalam firmanNya :


وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ (١٠) كِرَامًا كَاتِبِينَ (١١) يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ (١٢)


“Dan sesungguhnya atas kalian ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi amalan kalian. Yang mulia (di sisa Allah) dan yang mencatat (amalan-amalan) . mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Infitar : 10 -12)


Sumber : Syarah Aqidah At-Thahawiyah Ibnu Abil Iez dengan tahqiq Yasin Al-Adani Hafidhahullah

Berhati-hati dalam menvonis Kafir Seseorang

Beberapa perkara penting tentang Vonis Kafir




  1. Bahwa Vonis kafir adalah hak Allah , dan bukan hak selainnya. Baik vonis tersebut termaktub dalam Al-Qur’an maupun disampaikan melalui lisan Rasulullah Sholallahu alaihi wassalam . Sehingga tidak boleh seseorang menjadikan sesuatu perkara sebagai bentuk kekafiran dalam keadaan tidak datang nash dari Al-qur’an dan As-sunnah bahwa perkara tersebut adalah sebuah kekafiran.

  2. Ada perbedaan mendasar antara hukum terhadap ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hukum kekafiran  dengan vonis kekafiran terhadap individu tertentu. Oleh sebab itu seringkali seorang ulama  apabila ditanya tentang seseorang yang melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan kekafiran, maka mereka menjawabnya dengan mengatakan : “Dia telah melakukan perbuatan kekafiran” dan tidaklah ulama tersebut terburu-buru menvonis dengan mengatakan “Dia telah kafir” . Karena vonis kekafiran terhadap individu tertentu tidaklah sembarangan.. Begitu juga para ulama  sering menggunakan istilah ketika ditanya tentang orang yang melakukan kegiatan kebid’ahan maka mereka menjawabnya dengan jawaban  : “Dia telah melakukan kebid’ahan” dan tidaklah mereka  terburu-buru menghukumi dengan kata-kata “Dia adalah seorang ahli bid’ah”

  3. Tidaklah seseorang  bisa dikafirkan kecuali apabila telah terpenuhi syarat-syaratnya dan telah terangkat penghalang-penghalang (udzur) dikafirkannya orang tersebut. .

  4. Yang berwenang untuk menjatuhkan vonis kafir terhadap individu tertentu adalah ulama-ulama yang memiliki keilmuan dan wara’ yang tinggi bukan setiap orang.


Dan sebagai tambahan penting yaitu apabila seseorang telah divonis kafir oleh para ulama, maka hal ini adalah persaksian kita di dunia yang berkaitan dengan muamalah kita bahwa dia adalah orang kafir. Sebagaimana ketika meninggal dia tidak dimandikan dan disholatkan, tidak boleh dibalas salamnya, tidak didoakan kepadanya ampunan, tidak boleh saling mewarisi dengan muslimin serta hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hukum-hukum orang kafir. Adapun persaksian bahwa orang tersebut pasti masuk neraka, maka persaksian ini tidak benar. Dan inilah Aqidah Ahlussunnah, yaitu tidak meyakini bahwa individu tertentu adalah penghuni surga ataupun penghuni neraka kecuali dengan dalil yang datang dari Allah dan RasulNya. Wallahu a’lam


Sumber Catatan :


Taisirul Alam bitalkhis Syarhi Nawaqidil islam, Hanan Bintu Ali .


Majmu’ fatawa Ibnu Baaz (25/123) Dinukil dari Al-Qowaid Al-Allamah Ibnu Baaz, Abul Abbas Asy-Syihri