Hukum Menikahkan Seorang Gadis Tanpa Izinnya
Wali Nikah
DALIL-DALIL TENTANG WALI DALAM PERNIKAHAN
Dalil-dalil yang berkaitan tentang wali bagi wanita di dalam akad Nikah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 )
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7555)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
BEBERAPA PERMASALAHAN YANG TERKAIT DENGAN WALI DALAM AKAD NIKAH
Permasalahan Pertama : Apakah disyaratkan di dalam akad nikah adanya wali bagi seorang wanita , baik wanita tersebut belum pernah menikah atau sudah pernah menikah, Masih kecil atau sudah dewasa ??
Pembagian Tauhid di Kalangan Para Ulama
Catatan ini adalah penyempurnaan dari catatan sebelumnya, yang berjudul Awal yang membagi tauhid menjadi tiga bagian. Pada catatan tersebut telah dijelaskan tentang yang pertama membagi tauhid menjadi Tiga bagian. Dan pada catatan ini akan dijelaskan tentang metode Pembagian Tauhid di kalangan para ulama selain dari metode pembagian yang tiga.
Para ulama memiliki beberapa metode pembagian Tauhid yang mereka landaskan dari penelitian Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan apabila dicermati dan diperhatikan maka disimpulkan bahwa pembagian-pembagian tersebut kembali ke pembagian Tauhid yang tiga walaupun berbeda di dalam penamaan dan berbeda di dalam metode pembagiannya.
Metode Pertama, membagi Tauhid menjad Tiga bagian
- Tauhid Al-Uluhiyyah
- Tauhid Ar-Rububiyah
- Tauhid Al-Asma was sifat
Metode pembagian seperti ini disebutkan oleh Ibnu Bathoh Al-Akbari (378 H), Ibnu Mandah (395 H), Ibnul Qoyyim (656 H), Ibnu Abil Iez (792 H), Muhammad bin Abdul Wahab (1206), Sulaiman Bin Abdul Wahab (1208 H) , Abdurrahman bin Hasan (1285), Ibnu Atieq (1301 H) dan selain mereka Rahimahumullah
Metode Kedua, membaginya menjadi dua bagian
- Tauhid Al-Ma’rifat (Pengenalan) dan Al-Itsbat (Penetapan). Mencakup Tauhid Ar-Rububiyah dan tauhid Al-Asma was Sifat
- Tauhid Ath-Tholab (Tuntutan) dan Al-Qosdu (Maksud/tujuan), mencakup tauhid Al-Uluhiyyah
Dan Syaikhul Islam telah menyebutkan pembagian ini, begitu juga Ibnul Qoyyim, Ibnu Abil Iez, Shidiq Hasan Khan (1307 H), Abdurrahman bin Hasan dan selainnya Rahimahumullah
Metode Ketiga, Juga membaginya menjadi dua
- Tauhid Ar-Rububiyah, Mencakup tauhid Al-Asma was Sifat
- Tauhid Al-Uluhiyyah
Pembagian seperti ini juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyah, Al-Miqrizi (845 H), Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahumullah
Wallahu A’lam
Sumber : Minhatul Hamied, Kholid bin Abdullah Ad-Dubaini, (14-15)