Hukum Syar'i tentang Khuntsa (Manusia Berkelamin Ganda)


Termasuk dari kekuasan Allah ta’ala adalah Dia telah menciptakan sebagian mahluknya berbeda dari keumuman jenisnya. Ini adalah sebuah hikmah dan pelajaran bagi hamba-hambanya , bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan maha mampu berbuat yang dikehendakinya. Dan diantara sekian tanda kebesaran Allah tersebut adalah adanya sebagian dari hamba-hambanya yang terlahir dalam keadaan tidak diketahui jenis kelaminnya karena mereka terlahir dalam keadaan fisik khusus. Dan keadaan ini di dalam kitab fiqih disebut dengan istilah khuntsa atau dalam istilah modern dikenal dengan istilah interseks. Dan hendaknya harus dipahami , bahwa berbeda antara Khuntsa dan Mukhonats , berbeda pula dengan Luthi. Mukhonats adalah pria tulen yang bertingkah laku seperti wanita, adapun Luthi atau lebih dikenal sebagai homoseks adalah seorang pria yang ketertarikan seksualnya juga kepada sesama lelaki dan tidak tertarik kepada wanita.

Dan telah disebutkan oleh para ulama, tentang keadaan seseorang yang dikatakan sebagai Khuntsa :

Pertama : Insan tersebut memiliki dua alat kelamin sekaligus penis dan vagina.

Kedua : Insan tersebut satu organ pembuangan, keluar darinya kencing dan kotoran dan dia tidak memiliki alat kelamin pria maupun wanita.

Ketiga : Insan tersebut memiliki dubur terpisah, dan kencingnya keluar tidak dari penis maupun vagina, akan tetapi keluar merembes atau menetes seperti keringat yang banyak

Keempat :Insan tersebut tidak punya Dubur, Penis atau Vagina . maka setiap yang dimakan akan keluar dalam bentuk muntahan atau diserap tubuh. [1]

Maka seorang insan dengan salah satu empat keadaan ini disebut sebagai khuntsa, karena tidak adanya kejelasan tentang kelaminnya , apakah dia seorang pria atau wanita.


Maka bagi insan tersebut atau bagi orang tuanya untuk mencari tahu tentang jenis kelamin dirinya atau jenis kelamin anaknya dengan metode yang telah disebutkan oleh para ulama , yaitu dengan melihat ciri-ciri pembeda antara pria dan wanita. Dan tanda-tanda ini terbagi dua, tanda-tanda sebelum baligh dan sesudahnya.

Maka apabila seorang bayi lahir dengan dua alat kelamin atau seorang anak tumbuh padanya alat kelamin kedua yang berlawanan jenis dari yang pertama maka dalam keadaan seperti ini dapat dilihat dari tempat keluarnya kencing (ini metode adalah bagi khuntsa yang memiliki dua alat kelamin)

Dan ini adalah tanda yang paling jelas, apabila kencing keluar dari vagina saja maka dia adalah seorang wanita dan apabila hanya keluar dari penis saja maka dia adalah pria. Apabila kencing dapat keluar dari dua-duanya, maka dilihat mana yang lebih dahulu berfungsi, kemudian dihukumi  untuknya. Misalkan ketika lahir, yang berfungsi mengeluarkan kencing adalah vagina, kemudian beberapa waktu kemudian penisnya juga bisa mengeluarkan  kencing maka dia dihukumi sebagai wanita karena vaginanya yang lebih dahulu berfungsi dan begitu pula sebaliknya.

Apabila keduanya dapat berfungsi mengeluarkan kencing dan waktu berfungsinya pun bersamaan , tidak ada yang lebih dahulu dari yang satunya, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat :

Madzhab Al-Malikiyah dan pendapat yang terakhir Al-Hanabilah , dan salah satu pendapat dari Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa dilihat dari alat kelamin yang mana yang lebih banyak keluar air kencingnya, mereka mengatakan bahwa menghukumi dengan keadaan mayoritas sebagai hukum keseluruhan adalah termasuk dari pondasi syariah.

Adapun Madzhab Al-Hanafiyah, dan salah satu pendapat Asy-Syafi’iyah dan salah satu pendapat madzhab Al-Hanabilah bahwa insan tersebut tetap dihukumi sebagai khuntsa karena tidak ada tanda-tanda yang menguatkan. Dan banyaknya air kencing yang keluar dari salah satu alat kelamin bukanlah  tanda yang jelas bahwa itu adalah organ yang asal. [2]

Maka atas pendapat yang kedua ini yaitu bahwa dia tetap dihukumi sebagi khuntsa, maka ditunggu sampai ketika baligh. Begitu juga khuntsa yang secara lahiriah tidak memiliki dua alat kelamin sebagaimana dalam keadaan yang telah disebutkan sebelumnya, maka akan dilihat ketika mencapai usia baligh . Apabila tumbuh janggut, kumis atau Jakun maka jelaslah bahwa dia adalah seorang lelaki dan  apabila dia haid atau  hamil atau terbentuk payudaranya maka dia adalah seorang wanita.

Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa salah satu tanda setelah baligh adalah dengan melihat mimpi basahnya, yaitu apabila dia bermimpi melakukan hubungan badan dengan pria maka dia adalah seorang wanita dan sebaliknya. [3]

Apabila dalam keadaan usia baligh tidak ada tanda-tanda yang timbul ataupun bahkan timbul tanda-tanda yang bertentangan , seperti mengalami haid tapi tumbuh juga janggutnya, maka tetaplah dia dihukumi sebagai khuntsa.

Dan ibnu Utsaimin Rahimahullah membolehkan menggunakan metode kedokteran untuk mencari tahu apakah dia seorang pria atau wanita, misalkan dengan melihat keadaan rahimnya.  [4]

Dan dari pembahasan diatas bisa diketahui bahwa khuntsa ada dua jenis :

Khuntsa Musykil ( Samar atau tidak jelas ) yaitu yang masih dalam keadaan tidak bisa dihukumi apakah dia seorang pria atau wanita.

 Khuntsa Wadhih (jelas)  yaitu khuntsa yang telah diketahui dengan metode yang telah disebutkan diatas, bahwa dia seorang pria atau wanita.

Adapun  Khuntsa Wadhih (jelas) maka telah jelas hukumnya dalam permasalahan ibadah, muamalah dan tingkah laku dan juga hal-hal lainnya, dia adalah sebagaimana jenis kelamin yang telah ditetapkan kepadanya. Dan boleh bagi dia untuk melakukan operasi menghilangkan orang-organ lainnya yang merupakan ciri-ciri dari lawan jenis kelaminnya. Misalkan telah jelas bahwa dia lelaki, akan tetapi masih memiliki vagina, atau telah jelas bahwa dia lelaki tapi payudaranya berbentuk seperti wanita maka boleh dia melakukan operasi untuk menghilangkannya. Adapun yang belum jelas keadaannya, maka tidak boleh melakukan operasi untuk hal tersebut, karena masih adanya dua kemungkinan [5]

Adapun untuk khuntsa musykil , maka karena belum jelas jenis kelaminnya, maka ada hukum-hukum khusus yang terkait dengannya di dalam kitab Fiqih.

Diantaranya :

Khuntsa musykil tidak boleh menjadi imam bagi pria dewasa maupun anak-anak karena bisa jadi dia adalah wanita dan tidak boleh pula dia sholat menjadi ma’mum di belakang imam wanita karena bisa jadi dia adalah seorang Pria.

Adapun untuk menjadi imam bagi para wanita maka diperbolehkan karena minimal dia akan setara apabila dia adalah nantinya seorang wanita. [6]

Apabila setelah selesai sholat, seorang ma’mum baru mengetahui bahwa imamnya adalah seorang khuntsa musykil , maka wajib bagi dia untuk mengulang sholatnya. [7]

Dalam masalah Khitan , sebagian ulama Asy-syafi’iyah berpendapat bahwa Khuntsa Musykil dikhitan di dua alamat kelaminnya. Karena khitan wajib pada salah satunya, dan tidak bisa dilaksanakan kewajiban tersebut kecuali mengkhitan keduanya.

Dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa khuntsa musykil  tidak dikhitan.

Dan pendapat yang benar bahwa khuntsa musykil dikhitan, karena telah datang dalil bahwa setiap yang terlahir disyariatkan untuk dikhitan dan tidak ada dalil yang mengecualikannya. [8]

Dalam masalah bergaul dengan manusia, Khuntsa Musykil dihukumi dengan yang lebih berhati-hati dalam hukum, apabila berada dengan para lelaki dia dihukumi sebagai wanita dan begitu juga sebaliknya, sehingga para pria tidak menampakkan aurat di depannya, karena bisa jadi dia adalah seorang wanita. Dan begitu pula, para wanita tidak boleh menampakkan kepadanya sesuatu yang terlarang secara syariat karena bisa jadi dia lelaki . [9]

Dalam masalah pernikahan,  Khuntsa Musykil tidak boleh menikah, baik menikah dengan pria ataupun menikahi wanita sampai jelas keadaannya, apabila sudah jelas keadaannya maka boleh bagi dia menikahi lawan jenisnya.

Syaikh Muhammad Ulays Rahimahullah (bermadzhab Maliki ) berkata  dalam  Manhul Kholil : “ Tidak boleh menikah dari kedua sisi” [10]

Dinukilkan pula bahwa Ibnul Qosim Rahimahullah dalam At-Taudhih berkata  : “Tidak dinikahi atau menikahi” [11]

Ibnu Muflih Rahimahullah berkata dalam Al Furu’  dan beliau bermadzhab Hanbali : “ Dan tidak sah nikah Khuntsa Musykil sampai jelas keadaannya” [12]

Dalam Hasyiah Asy- Syarwani Rahimahullah dan beliau bermadzhab As-Syafi’I, beliau berpendapat bahwa Aqad terhadap khuntsa musykil tidak sah [13]

Adapun bagi seseorang yang menikah dan ternyata dia mendapati pasangannya adalah seorang Khuntsa Wadhih yaitu yang telah telah jelas kelaminnya akan tetapi terdapat alat kelamin yang lain, misalkan seorang pria yang menikahi seorang wanita (dalam prasangkanya), akan tetapi ternyata dia telah menikahi khuntsa Wadhih yang telah jelas bahwa dia wanita akan tetapi selain memiliki vagina juga memiliki penis maka nikahnya batal, karena seseorang tentunya ketika menikah dia menyangka bahwa wanita tersebut adalah wanita tulen, atau pria tulen sehingga apabila dia mendapatinya berbeda, maka pernikahannya batal karena ini termasuk aib yang membatalkan pernikahan. Berbeda halnya ketika ketika memang sejak sebelum pernikahan, dia telah mengetahui bahwa calon pasangannya adalah seorang Khuntsa Wadhih[14]

Dan bagi Khuntsa Musykil , karena terlarang untuk menikah sampai jelas keadaannya maka apabila dia sudah memiliki syahwat disunnahkan baginya untuk berpuasa, dan boleh bagi dia untuk menggunakan obat-obatan yang akan membantu dia menurunkan hawa nafsunya, dan ini lebih ringan daripada dikatakan kepadanya untuk mengeluarkan spermanya dengan cara yang tidak boleh secara syar’i. [15]

Adapun dalam bab warisan, karena pembahasannya cukup panjang maka bisa dilihat dalam kitab faroidh.

Wallahu A’lam








[1] Syarhul Mumti’  11/293-294




[2] Markiz Al-Fatwa, DR. Abdullah Al-Faqih




[3] Al-Fatawa Al-Hindiyah , 51/224




[4] Syarhul Mumti’  12/160-161




[5] Fatawa Lajnah Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’ No. 21058 dan Syarhul Mumti’  12/160-161




[6] Syarhul Mumti’  4/222-224




[7] Al-Mughnie 2/200




[8] Sunanul Fitrah bainal muhaditsin wal fuqoha,  Dr. Ahmad Royyan




[9] Fatawa Lajnah Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’ No. 21058




[10] 8/622




[11] Manhul Kholil , 8/622




[12] 8/258




[13] 7/228




[14] Syarhul Mumti’  12/215




[15] Syarhul Mumti’  12/160-161

Tidak ada komentar:

Posting Komentar