Hukum Meminta Diruqyah
Para ulama berbeda pendapat menjadi dua golongan terkait hukum meminta diruqyah.
Pendapat Pertama : Boleh, Ini adalah pendapat Mayoritas Ulama, bahkan Ibnu Abdil Baar dan al-Azhari Rahimahumallahu menukil Ijma’ walaupun pada kenyataannya terjadi perbedaan pendapat disana.
Pendapat Kedua : Makruh, Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim Rahimahumallahu . Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma , Rasulullah Shalallahu alaihi Wassallam bersabda :
Pendapat Pertama : Boleh, Ini adalah pendapat Mayoritas Ulama, bahkan Ibnu Abdil Baar dan al-Azhari Rahimahumallahu menukil Ijma’ walaupun pada kenyataannya terjadi perbedaan pendapat disana.
Pendapat Kedua : Makruh, Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim Rahimahumallahu . Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma , Rasulullah Shalallahu alaihi Wassallam bersabda :
“عرضت
علي الأمم، فرأيت النبي معه الرهط، والنبي معه الرجل والرجلان، والنبي وليس معه
أحد، إذ رفع لي سواد عظيم، فظننت أنهم أمتي، فقيل لي : هذا موسى وقومه، فنظرت فإذا
سواد عظيم، فقيل لي : هذه أمتك، ومعهم سبعون ألفا يدخلون الجنة بغير حساب ولا
عذاب، ثم نهض فدخل منزله، فحاض الناس في أولئك، فقال بعضهم : فلعلهم الذي صحبوا
رسول الله ، وقال بعضهم : فلعلهم الذين ولدوا في الإسلام فلم يشركوا بالله شيئا،
وذكروا أشياء، فخرج عليهم رسول الله أخبروه، فقال :” هم الذين لا يسترقون ولا
يتطيرون ولا يكتوون وعلى ربهم يتوكلون ” فقام عكاشة بن محصن فقال : ادع الله أن
يجعلنى منهم، فقال : أنت منهم، ثم قال رجل آخر فقال : ادع الله أن يجعلني منهم،
فقال :” سبقتك عكاشة “.
“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat, lalu aku melihat seorang Nabi, bersamanya sekelompok orang, dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang saja, dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorangpun yang menyertainya, tiba tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, aku mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku : bahwa mereka itu adalah Musa dan kaumnya, tiba tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar, maka dikatakan kepadaku : mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada Tujuh Puluh Ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu, kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu ?, ada diantara mereka yang berkata : Barangkali mereka itu orang orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya, dan ada lagi yang berkata : barang kali mereka itu orang orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula.
Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam keluar dan merekapun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda : “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta Ruqyah, tidak melakukan tathoyyur (merasa sial dan ada pantangan terhadap sesuatu yang didengar atau dilihat.pent) dan tidak pernah meminta Kay (pengobatan dengan cara menempelkan besi pana ke tubuh. Pent), dan mereka pun bertawakkal kepada Rabb mereka, kemudian Ukasyah bin Muhshon berdiri dan berkata : mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka, kemudian Rasul bersabda : “Ya, engkau termasuk golongan mereka”, kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata : Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka, Rasul menjawab : “Engkau sudah kedahuluan Ukasyah” (HR. Bukhori & Muslim)
ADAPUN FATWA PARA
ULAMA MASA KINI ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
Fatwa Lembaga Tetap
Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia
Meminta diruqyah
boleh, dan meninggalkannya lebih baik.
Fatwa tersebut :
السؤال الرابع من الفتوى رقم ( 20384 )
س : متى يكون طلب
الرقية والدعاء
ممدوحين مطلوبين ؟
ج : طلـب الـدعاء
وطلـب الرقيـة مباحـان،
وتركهمـا والاستغناء عن الناس وقيامه بهما لنفسه أحسن.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو
|
عضو
|
عضو
|
نائب
الرئيس
|
الرئيس
|
||
بكر
أبو زيد
|
صالح
الفوزان
|
عبد الله
بن غديان
|
عبد
العزيز آل الشيخ
|
عبد
العزيز بن عبد الله بن باز
|
||
Fatwa Syaikh Abdul
Aziz bin Baaz Rahimahullahu :
Tidak meminta
diruqyah lebih utama, tetapi apabila ada kebutuhan maka tidak mengapa meminta
diruqyah.
Fatwa Beliau :
سئل فضيلة الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله: هناك من يحتج بترك الأسباب
بحديث السبعين ألفا الذين يدخلون الجنة بغير حساب ولا عذاب. فما هو الرد عليهم؟
فأجاب بقوله: هؤلاء السبعون ما تركوا الأسباب إنما تركوا شيئين وهما الاسترقاء
والكي، والاسترقاء هو طلب الرقية من الناس.وهذا الحديث يدل على أن ترك الطلب أفضل وهكذا
ترك الكي أفضل لكن عند الحاجة إليهما لا بأس بالاسترقاء والكي؛ لأن النبي عليه السلام
أمر عائشة أن تسترقي من مرض أصابها وأمر أم أولاد جعفر بن أبي طالب رضي الله عنه وهي
أسماء بنت عميس رضي الله عنها أن تسترقي لهم، فدل ذلك على أنه لا حرج في ذلك عند الحاجة
إلى الاسترقاء، ولأنه صلى الله عليه وسلم قال: «الشفاء في ثلاث: كية نار أو شرطة محجم
أو شربة عسل وما أحب أن أكتوي » وقد كوى عليه السلام بعض أصحابه لما دعت الحاجة إلى
الكي، لأنه سبب مباح عند الحاجة إليه، والاسترقاء: طلب الرقية، أما إن رقي من دون سؤال
فهو من الأسباب أيضا لا بأس به ولا كراهة في ذلك، وهكذا بقية الأسباب المباحة كالأدوية
المباحة من إبر وحبوب وشراب وغير ذلك.
مجموع فتاوى ابن
باز
25/118-119
Fatwa Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu
Meminta diruqyah
adalah Makruh
Fatwa Beliau :
وأما الإستقراء وهو طلب الرقية من الغير فهو وإن كان جائز فهو مكروه
وكما يدل عليه الحديث {هم الذين لايسترقون ...ولايكتوون ولا يتطيرون وعلى ربهم
يتوكلون .
السلسلة الصحيحة 1/844
Fatwa Syaikh
Muhammad Sholih Al-Utsaimin Rahimahullahu
Yang tampak dari
fatwa beliau, beliau berpendapat makruhnya meminta diruqyah. Wallahu A’lam
.
Berikut Fatwa
beliau ketika memberi penjelasan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘ anhuma
(هُمُ الذين لا يستَرقُون) أي:
لا يطلبون من أحد أن يقرأ عليهم إذا أصابهم شيء، لأنهم معتمدون على الله، ولأن
الطلب فيه شيء من الذل، لأنه سؤال الغير، فرُبَّما تحرجه ولا يريد أن يقرأ، وربما
إذا قرأ عليك لا يبرأ المرض فتتهمه، وما أشبه ذلك، لهذا قال لا يسترقون
Sumber : Disini
Fatwa Syaikh Sholih
Al-Fauzan Hafidzhahullahu
Meninggalkan meminta
diruqyah termasuk dari kesempurnaan tauhid, akan tetapi kalau ada kebutuhan
maka tidak mengapa .
Silahkan dengarkan
fatwa beliau disini
Wallahu A’lam
Hukum Berobat Dengan Sesuatu Yang Mubah
Setelah pada
catatan sebelumnya, kami telah menukilkan pendapat para ulama tentang hukum
berobat dengan sesuatu yang haram (Bagi yang belum baca, silahkan klik disini),
Maka kali ini Insya Allah kita akan menukilkan pendapat para ulama tentang
berobat dengan sesuatu yang mubah. Berikut catatannya …
Sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu bawah para ulama
seperti Ibnul Qoyyim, Adz-Dzahabi dan Al-Buhuuty Rahimahumullahu telah
menukil kesepakatan tentang disyariatkannya berobat . Akan tetapi para ulama berselisih
pendapat mengenai hukum disyariatkannya tersebut, Apakah Mubah, Mustahab
atau Wajib ?? Berikut perbedaan pendapat para ulama tersebut :
Pendapat Pertama : Berobat itu Mubah, dan antara mengerjakannya
dan meninggalkannya kedudukannya sama
dari sisi keutamaan, Ini adalah pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , atha’ ,
Malik, Ibnul Arobi, Ibnu Abdil Baar,
Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah. Dan pendapat ini dibangun di atas hukum asal
sesuatu adalah mubah.
Pendapat Kedua : Berobat itu Mubah,
akan tetapi meninggalkan berobat lebih utama, Ini adalah pendapat Ahmad,
An-Nawawi, Ibnul Wazir dan Ini adalah pendapat yang terkenal dari Al-Hanabilah Rahimahumullahu
. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya meninggalkan berobat lebih dekat kepada
tawakkal.
Hukum Berobat Dengan Sesuatu Yang Haram
Terkait
dengan Hukum berobat dengan sesuatu yang haram seperti Khamr, Daging
Babi, dan semisalnya maka ada dua pendapat
Pendapat
Pertama : Haram
berobat dengan Khamr , Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Satu
sisi dari Madzhab Asy-Syafiiyah, Juga pendapat Asy-Syinqithiy dan Ibnu Baaz , Ibnu Utsaimin Rahimahumullahu . Berdasarkan Sabda Rasulullah
Shalallahu alaihi Wassallam :
إن الله لم يجعل
شفاء أمتي فيما حرم عليهم
“Sesungguhnya Allah tidak
menjadikan kesembuhan umatku pada hal-hal yang diharamkan atas mereka” (HR. Ibnu
Hibban, Al-Baihaqi dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha)
Dan juga datang dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
anhu ucapan yang semisal hadits ini dengan sanad yang shohih sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Hajar Rahimahullahu dalam At-Talkhisul Khobir (4/207)
Berdalil juga dengan hadits Wa’il Al-Hadromi Radhiyallahu anhu :
Catatan Ringkas Tentang Khulu’ ,
Khulu’ secara bahasa bermakna menanggalkan pakaian, karena sepasang suami istri
adalah pakaian bagi pasangannya.
Adapun secara istilah syariat bermakna perpisahan yang
terjadi pada sepasang suami istri dengan diiringi kompensasi yang diberikan
istri kepada suaminya atas perpisahan tersebut biasanya berupa pengembalian
mahar.
Khulu’ adalah sesuatu yang diakui dalam
syariat, sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ بِهِ
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya “ (QS. Al-Baqarah : 229)
Dan
juga berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya istri Tsabit bin Qais bin Syamas, ketika ia datang
kepada Nabishallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata:
"يا رسول الله! ثابت بن قيس ما أعيب عليه في خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر في الإسلام، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أتردين عليه حديقته؟ قالت: نعم. فقال النبي صلى الله عليه وسلم لزوجها: خذ الحديقة وطلقها تطليقة"
" Wahai Rasulullah , Tsabit
bin Qois saya tidak mencelanya dalam hal akhlak dan agama, akan tetapi aku
membenci kekufuran di dalam islam", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Apakah
engkau mau mengembalikan kebunnya", Ia menjawab: "Ya", maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada suaminya: "Ambilah kembali kebunmu dan ceraikan ia". (HR: Al
Bukhori:5273)
Jenis Ibadah Yang paling Utama
Al-Imam Ahmad bin Ali Al-Miqriziy Rahimahullahu dalam kitabnya Tajriidut Tauhid
menyebutkan beberapa pendapat manusia tentang jenis Ibadah yang paling utama,
berikut pendapat-pendapat tersebut :
Pendapat Pertama mengatakan bahwa Ibadah yang paling
bermanfaat dan paling utama adalah yang paling berat dan sukar bagi jiwa, karena
ganjaran pahala berdasarkan kesukaran.
Pendapat Kedua mengatakan bahwa ibadah yang paling
utama dan bermanfaat adalah menjauhkan diri dan zuhud di dalam perkara dunia
dan membatasi diri sebisa mungkin dalam perkara tersebut.
Pendapat Ketiga Mengatakan bahwa ibadah yang paling
utama adalah ibadah yang mengandung manfaat kepada pihak lain seperti melayani
orang fakir, menyibukkan diri terhadap kemaslahatan manusia dan menolong mereka
dengan kedudukan, harta dan manfaat.
Pendapat Keempat mengatakan
Ibadah yang paling utama diatas keridhoan Allah dan menyibukkan diri setiap
waktu dengan ibadah yang paling afdhol pada waktu tersebut. Misalkan pada masa
Jihad, maka ibadah yang paling utama adalah berjihad walaupun berkonsekuensi meninggalkan
sholat malam dan puasa sunnah di siang hari yang selalu mereka laksanakan di
waktu aman. Begitu juga ketika kedatangan tamu maka ibadah yang utama pada saat
itu adalah menjamu tamu.
Dan mereka yang berpendapat
dengan pendapat keempat ini adalah ahli ibadah mutlak, mereka berpindah dari
satu ibadah ke ibadah lainnya dengan mengharapkan ridho Allah. Dan pendapat
keempat ini yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim Rahimahullahu
Wallahu a’lam
Sumber : Minhatul Khamied,
Kholid bin Abdullah Al-Dubainy
Hukum Berdoa di Dalam Sholat dengan Menggunakan Bahasa Indonesia
Tidak semua orang bisa berbahasa arab dengan
fasih, sehingga terkadang terkendala ketika hendak berdoa untuk meminta sesuatu kepada Allah di dalam sholat . Maka pertanyaan
yang sering sekali timbul adalah bolehkah berdoa dengan bahasa Indonesia ketika
dalam sholat ??
Berikut kesimpulan dari fatwa-fatwa ulama masa kini, beserta sumber aslinya.
Fatwa Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
No. 5782
Teks Fatwa asli :
السؤال الأول من الفتوى رقم ( 5782 )
س 1 : ما هي كيفية الدعاء ، وهل يجوز للإنسان أن يدعو دعوته في صلاته في أي لغة شاء، وهل صلاتهتصح؟
ج 1 : يدعو الإنسان ربه سرًا تضرعًا وخفية، ولا يدعو بمحرم، ويدعو الله تعالى في صلاته وفي غير صلاته باللغة العربية وبغيرها من اللغات على حسب ما يتيسر له، ولا تبطل صلاته إذا دعا فيها بغير اللغة العربية، وينبغي له إذا دعا في صلاته أن يتحرى ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم من أدعية في الصلاة، وأن يجعلها في مواضعها منها مقتديًا في ذلك بهدي النبي صلى الله عليه وسلم، وقد ألف بعض العلماء في أذكار النبي صلى الله عليه وسلم وأدعيته في الصلاة وغيرها كتبًا، منها: (الكلم الطيب) لابن تيمية ، و (الوابل الصيب) لابن القيم ، وكتاب (رياض الصالحين) للنووي ، و (الأذكار) له
أيضًا، فاشتر ما تيسر لك منها لتعرف منه الأذكار والأدعية الثابتة ومواضعها
وأزمانها، فذلك خير لك وأكثر فائدة.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله
وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو
|
عضو
|
نائب الرئيس
|
الرئيس
|
عبد الله بن قعود
|
عبد الله بن غديان
|
عبد الرزاق عفيفي
|
عبد العزيز بن عبد الله بن باز
|
Kesimpulan : Boleh berdoa di dalam sholat maupun di luar sholat dengan bahasa Arab
maupun selain bahasa Arab. Akan tetapi hendaknya seseorang berusaha bersungguh-sungguh berdoa dengan doa yang datang dari Nabi Shalallahu alaihi Wassalam
Sumber : Disini
Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafidzhahullahu :
Fatwa beliau, Silahkan dengarkan sebagai berikut :
Kesimpulan : Tidak boleh berdoa di dalam sholat dengan bahasa selain bahasa
arab, kecuali bagi orang yang tidak bisa berbahasa arab.
Fatwa Syaikh Muhammad Ali Firkus Al-Jazairi
Teks asli :
السـؤال:
هل يجوز للأعجميِّ أن يدعوَ في الصلاة بغير اللغة
العربية؟
الجـواب:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على
من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد:
فالقادرُ على الصلاة والدعاء باللغة العربية
تلزَمُهُ ألفاظُها وخاصَّةً فاتحةُ الكتاب والتشهُّدُ ونحوُ ذلك، أمَّا العاجزُ عن
اللغة العربية والنطقِ بها فله أن يأتيَ بالصلاة بلغته ما عدا فاتحةَ الكتاب لقوله
صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ
الكِتَابِ»(١)،
فهي أقلُّ ما تجزئ صلاتُه بها من القرآن الكريم، فإن عَجَزَ عنها بعد جهدٍ
واجتهادٍ فله أن يأتيَ مكانها بالتسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة لقوله
صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم للرجل الذي قال: «إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ
آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا فَعَلِّمْنِي مَا يُجْزِئُنِي مِنْهُ»، قَالَ: «قُلْ:
سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ،
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِّيِّ العَظِيمِ»(٢)، ولأنَّ العاجز لا يأتي من الأوامر
الإلهية إلاَّ في حدود استطاعته لقوله تعالى: ﴿لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا﴾ [البقرة: ٢٨٦]، وقولِه تعالى: ﴿فَاتَّقُوا اللهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ﴾ [التغابن: ١٦]، وقولِه صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «إِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»(٣)،
جريًا على قاعدة: «لاَ تَكْلِيفَ إِلاَّ بِمَقْدُورٍ»، والدعاء لا يخرج عن هذا
المعنى، فيجوز الدعاء بأيِّ عبارةٍ يُتقرَّب بها إلى الله تفيد معنى التذلُّل والانكسار
والانقياد لله سبحانه وتعالى، مهما كانت عُجْمَتُهُ لعموم قوله تعالى: ﴿ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ﴾ [غافر: ٦٠]، ولقوله تعالى: ﴿فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ
دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ﴾ [البقرة: ١٨٦]، وخاصَّةً لمن لم ينطق بلغة
القرآن ولسان العرب، أو يجد صعوبةً في التلفُّظ بها، واللهُ تعالى يجيبُه إذا
توفَّرت الشروطُ وانتفعت الموانعُ، سواءٌ بتعجيلها له أو ادِّخارِها أو دفعِ
البلايا والرزايا عنه(٤).
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد
لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم
الدين، وسلّم تسليمًا.
الجزائر في: ١١ ذو القعدة ١٤٢٧ﻫ
الموافق ﻟ: ٢ ديسمبر ٢٠٠٦م
(١) أخرجه البخاري في «الصلاة» باب وجوب القراءة للإمام والمأموم في
الصلوات كلِّها (٧٥٦)، ومسلم في «الصلاة» (٣٩٤)، من حديث عبادة بن الصامت رضي الله
عنه.
(٢) أخرجه أبو داود في «الصلاة» باب ما يجزئ الأمِّيَّ والأعجميَّ من
القراءة (٨٣٢)، والنسائي في «الافتتاح» ما يجزئ من القراءة لمن لا يُحسن القرآنَ
(٩٢٤)، من حديث عبد الله بن أبي أوفى رضي الله عنه. وحسَّنه الألباني في «المشكاة»
(٨١٩).
(٣) أخرجه البخاري في «الاعتصام بالكتاب والسنَّة» باب الاقتداء بسنن رسول
الله صلَّى الله عليه وسلَّم (٧٢٨٨)، ومسلم في «الحجِّ» (١٣٣٧)، من حديث أبي هريرة
رضي الله عنه.
(٤) عن أبي سعيدٍ الخدريِّ رضي الله عنه أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه
وآله وسَلَّم قال: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ
وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا
أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ،
وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا» قَالُوا: «إِذاً
نُكْثِرُ؟» قَالَ: «اللهُ أَكْثَرُ» أخرجه أحمد (١٠٩٠٣)، والبخاري في «الأدب
المفرد» (٧١٠)، والحاكم (١٨١٦)، وصحَّحه الألباني في «صحيح الأدب المفرد» (٥٥٠)،
والوادعي في «الصحيح المسند» (٤٢١).
Sumber : Disini
Kesimpulan : Semakna dengan Fatwa Syaikh
Sholih Al-Fauzan Hafidzhahullahu
Wallahu a’lam
Langganan:
Postingan (Atom)