Hukum Meminta Diruqyah

Para ulama berbeda pendapat menjadi dua golongan terkait hukum meminta diruqyah.

Pendapat Pertama : Boleh, Ini adalah pendapat Mayoritas Ulama, bahkan Ibnu Abdil Baar dan al-Azhari Rahimahumallahu menukil Ijma’ walaupun pada kenyataannya terjadi perbedaan pendapat disana.

Pendapat Kedua : Makruh, Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim Rahimahumallahu . Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma , Rasulullah Shalallahu alaihi Wassallam bersabda :

عرضت علي الأمم، فرأيت النبي معه الرهط، والنبي معه الرجل والرجلان، والنبي وليس معه أحد، إذ رفع لي سواد عظيم، فظننت أنهم أمتي، فقيل لي : هذا موسى وقومه، فنظرت فإذا سواد عظيم، فقيل لي : هذه أمتك، ومعهم سبعون ألفا يدخلون الجنة بغير حساب ولا عذاب، ثم نهض فدخل منزله، فحاض الناس في أولئك، فقال بعضهم : فلعلهم الذي صحبوا رسول الله ، وقال بعضهم : فلعلهم الذين ولدوا في الإسلام فلم يشركوا بالله شيئا، وذكروا أشياء، فخرج عليهم رسول الله أخبروه، فقال :” هم الذين لا يسترقون ولا يتطيرون ولا يكتوون وعلى ربهم يتوكلون ” فقام عكاشة بن محصن فقال : ادع الله أن يجعلنى منهم، فقال : أنت منهم، ثم قال رجل آخر فقال : ادع الله أن يجعلني منهم، فقال :” سبقتك عكاشة “.

“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa umat, lalu aku melihat seorang Nabi, bersamanya sekelompok orang, dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang saja, dan Nabi yang lain lagi tanpa ada seorangpun yang menyertainya, tiba tiba diperlihatkan kepadaku sekelompok orang yang banyak jumlahnya, aku mengira bahwa mereka itu umatku, tetapi dikatakan kepadaku : bahwa mereka itu adalah Musa dan kaumnya, tiba tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar, maka dikatakan kepadaku : mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada Tujuh Puluh Ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu, kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu ?, ada diantara mereka yang berkata : Barangkali mereka itu orang orang yang telah menyertai Nabi dalam hidupnya, dan ada lagi yang berkata : barang kali mereka itu orang orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula.
Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam keluar dan merekapun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda : “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta Ruqyah, tidak melakukan tathoyyur (merasa sial dan ada pantangan terhadap sesuatu yang didengar atau dilihat.pent) dan tidak pernah meminta Kay (pengobatan dengan cara menempelkan besi pana ke tubuh. Pent), dan mereka pun bertawakkal kepada Rabb mereka, kemudian Ukasyah bin Muhshon berdiri dan berkata : mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka, kemudian Rasul bersabda : “Ya, engkau termasuk golongan mereka”, kemudian seseorang yang lain berdiri juga dan berkata : Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka, Rasul menjawab : “Engkau sudah kedahuluan Ukasyah” (HR. Bukhori & Muslim)

ADAPUN FATWA PARA ULAMA MASA KINI ADALAH SEBAGAI BERIKUT  :

Fatwa Lembaga Tetap Pembahasan Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia

Meminta diruqyah boleh, dan meninggalkannya lebih baik.

Fatwa tersebut :
السؤال الرابع من الفتوى رقم ( 20384 )
س :  متى يكون طلب الرقية والدعاء ممدوحين مطلوبين ؟
ج طلـب الـدعاء وطلـب الرقيـة مباحـان، وتركهمـا والاستغناء عن الناس وقيامه بهما لنفسه أحسن.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو
عضو
عضو
نائب الرئيس
الرئيس
بكر أبو زيد
صالح الفوزان
عبد الله بن غديان
عبد العزيز آل الشيخ
عبد العزيز بن عبد الله بن باز


Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullahu :

Tidak meminta diruqyah lebih utama, tetapi apabila ada kebutuhan maka tidak mengapa meminta diruqyah.

Fatwa Beliau :

سئل فضيلة الشيخ عبد العزيز بن باز رحمه الله: هناك من يحتج بترك الأسباب بحديث السبعين ألفا الذين يدخلون الجنة بغير حساب ولا عذاب. فما هو الرد عليهم؟
فأجاب بقوله: هؤلاء السبعون ما تركوا الأسباب إنما تركوا شيئين وهما الاسترقاء والكي، والاسترقاء هو طلب الرقية من الناس.وهذا الحديث يدل على أن ترك الطلب أفضل وهكذا ترك الكي أفضل لكن عند الحاجة إليهما لا بأس بالاسترقاء والكي؛ لأن النبي عليه السلام أمر عائشة أن تسترقي من مرض أصابها وأمر أم أولاد جعفر بن أبي طالب رضي الله عنه وهي أسماء بنت عميس رضي الله عنها أن تسترقي لهم، فدل ذلك على أنه لا حرج في ذلك عند الحاجة إلى الاسترقاء، ولأنه صلى الله عليه وسلم قال: «الشفاء في ثلاث: كية نار أو شرطة محجم أو شربة عسل وما أحب أن أكتوي » وقد كوى عليه السلام بعض أصحابه لما دعت الحاجة إلى الكي، لأنه سبب مباح عند الحاجة إليه، والاسترقاء: طلب الرقية، أما إن رقي من دون سؤال فهو من الأسباب أيضا لا بأس به ولا كراهة في ذلك، وهكذا بقية الأسباب المباحة كالأدوية المباحة من إبر وحبوب وشراب وغير ذلك.
مجموع فتاوى ابن باز
25/118-119

Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu

Meminta diruqyah adalah Makruh

Fatwa Beliau :


وأما الإستقراء وهو طلب الرقية من الغير فهو وإن كان جائز فهو مكروه وكما يدل عليه الحديث {هم الذين لايسترقون ...ولايكتوون ولا يتطيرون وعلى ربهم يتوكلون .


السلسلة الصحيحة 1/844

Fatwa Syaikh Muhammad Sholih Al-Utsaimin Rahimahullahu

Yang tampak dari fatwa beliau, beliau berpendapat makruhnya meminta diruqyah. Wallahu A’lam .
Berikut Fatwa beliau ketika memberi penjelasan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘ anhuma

(هُمُ الذين لا يستَرقُون) أي: لا يطلبون من أحد أن يقرأ عليهم إذا أصابهم شيء، لأنهم معتمدون على الله، ولأن الطلب فيه شيء من الذل، لأنه سؤال الغير، فرُبَّما تحرجه ولا يريد أن يقرأ، وربما إذا قرأ عليك لا يبرأ المرض فتتهمه، وما أشبه ذلك، لهذا قال لا يسترقون
Sumber : Disini

Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafidzhahullahu

Meninggalkan meminta diruqyah termasuk dari kesempurnaan tauhid, akan tetapi kalau ada kebutuhan maka tidak mengapa .
Silahkan dengarkan fatwa beliau disini 

Wallahu A’lam

Hukum Berobat Dengan Sesuatu Yang Mubah

Setelah pada catatan sebelumnya, kami telah menukilkan pendapat para ulama tentang hukum berobat dengan sesuatu yang haram (Bagi yang belum baca, silahkan klik disini), Maka kali ini Insya Allah kita akan menukilkan pendapat para ulama tentang berobat dengan sesuatu yang mubah. Berikut catatannya …
Sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu bawah para ulama seperti Ibnul Qoyyim, Adz-Dzahabi dan Al-Buhuuty Rahimahumullahu telah menukil kesepakatan tentang disyariatkannya berobat . Akan tetapi para ulama berselisih pendapat mengenai hukum disyariatkannya tersebut, Apakah Mubah, Mustahab atau Wajib ?? Berikut perbedaan pendapat para ulama tersebut :
Pendapat Pertama : Berobat itu Mubah, dan antara mengerjakannya  dan meninggalkannya kedudukannya sama dari sisi keutamaan, Ini adalah pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , atha’ , Malik,  Ibnul Arobi, Ibnu Abdil Baar, Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah. Dan pendapat ini dibangun di atas hukum asal sesuatu adalah mubah.
Pendapat Kedua :  Berobat itu Mubah, akan tetapi meninggalkan berobat lebih utama, Ini adalah pendapat Ahmad, An-Nawawi, Ibnul Wazir dan Ini adalah pendapat yang terkenal dari Al-Hanabilah Rahimahumullahu . Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya meninggalkan berobat lebih dekat kepada tawakkal.

Hukum Berobat Dengan Sesuatu Yang Haram

Terkait dengan Hukum berobat dengan sesuatu yang haram seperti Khamr, Daging Babi, dan semisalnya maka ada dua pendapat
Pendapat Pertama : Haram berobat dengan Khamr , Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Satu sisi dari Madzhab Asy-Syafiiyah, Juga pendapat Asy-Syinqithiy dan  Ibnu Baaz , Ibnu Utsaimin  Rahimahumullahu . Berdasarkan Sabda Rasulullah Shalallahu alaihi Wassallam :
إن الله لم يجعل شفاء أمتي فيما حرم عليهم
“Sesungguhnya Allah  tidak menjadikan kesembuhan umatku pada hal-hal yang diharamkan atas mereka(HR. Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha)
Dan juga datang dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu ucapan yang semisal hadits ini dengan sanad yang shohih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Rahimahullahu dalam At-Talkhisul Khobir (4/207)
Berdalil juga dengan hadits Wa’il Al-Hadromi Radhiyallahu anhu :

Catatan Ringkas Tentang Khulu’ ,

Khulu’ secara bahasa bermakna menanggalkan pakaian, karena sepasang suami istri adalah pakaian bagi pasangannya.
Adapun secara istilah syariat bermakna perpisahan yang terjadi pada sepasang suami istri dengan diiringi kompensasi yang diberikan istri kepada suaminya atas perpisahan tersebut biasanya berupa pengembalian mahar.
Khulu’  adalah sesuatu yang diakui dalam syariat, sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (QS. Al-Baqarah : 229)
Dan juga berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya  istri Tsabit bin Qais bin Syamas, ketika ia datang kepada Nabishallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata:


"يا رسول الله! ثابت بن قيس ما أعيب عليه في خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر في الإسلام، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أتردين عليه حديقته؟ قالت: نعم. فقال النبي صلى الله عليه وسلم لزوجها: خذ الحديقة وطلقها تطليقة" 
" Wahai Rasulullah , Tsabit bin Qois saya tidak mencelanya dalam hal akhlak dan agama, akan tetapi aku membenci kekufuran di dalam islam", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya", Ia menjawab: "Ya", maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada suaminya: "Ambilah kembali kebunmu dan ceraikan ia". (HR: Al Bukhori:5273)

Ucapan Umar Bin Khatab Radhiyallahu 'anhu


Jenis Ibadah Yang paling Utama

Al-Imam Ahmad bin Ali Al-Miqriziy Rahimahullahu  dalam kitabnya Tajriidut Tauhid menyebutkan beberapa pendapat manusia tentang jenis Ibadah yang paling utama, berikut pendapat-pendapat tersebut  :
Pendapat Pertama mengatakan bahwa Ibadah yang paling bermanfaat dan paling utama adalah yang paling berat dan sukar bagi jiwa, karena ganjaran pahala berdasarkan kesukaran.
Pendapat Kedua mengatakan bahwa ibadah yang paling utama dan bermanfaat adalah menjauhkan diri dan zuhud di dalam perkara dunia dan membatasi diri sebisa mungkin dalam perkara tersebut.
Pendapat Ketiga Mengatakan bahwa ibadah yang paling utama adalah ibadah yang mengandung manfaat kepada pihak lain seperti melayani orang fakir, menyibukkan diri terhadap kemaslahatan manusia dan menolong mereka dengan kedudukan, harta dan manfaat.
Pendapat Keempat mengatakan Ibadah yang paling utama diatas keridhoan Allah dan menyibukkan diri setiap waktu dengan ibadah yang paling afdhol pada waktu tersebut. Misalkan pada masa Jihad, maka ibadah yang paling utama adalah berjihad walaupun berkonsekuensi meninggalkan sholat malam dan puasa sunnah di siang hari yang selalu mereka laksanakan di waktu aman. Begitu juga ketika kedatangan tamu maka ibadah yang utama pada saat itu adalah menjamu tamu.
Dan mereka yang berpendapat dengan pendapat keempat ini adalah ahli ibadah mutlak, mereka berpindah dari satu ibadah ke ibadah lainnya dengan mengharapkan ridho Allah. Dan pendapat keempat ini yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim Rahimahullahu
Wallahu a’lam

Sumber : Minhatul Khamied, Kholid bin Abdullah Al-Dubainy

Hukum Berdoa di Dalam Sholat dengan Menggunakan Bahasa Indonesia

Tidak semua orang bisa berbahasa arab dengan fasih, sehingga terkadang terkendala ketika hendak berdoa untuk meminta sesuatu kepada Allah di dalam sholat . Maka pertanyaan yang sering sekali timbul adalah  bolehkah berdoa dengan bahasa Indonesia ketika dalam sholat ??

Berikut kesimpulan dari fatwa-fatwa ulama masa kini, beserta sumber aslinya.



Fatwa Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
No. 5782

Teks Fatwa asli :

السؤال الأول من الفتوى رقم ( 5782 )
س 1 : ما هي كيفية الدعاء ، وهل يجوز للإنسان أن يدعو دعوته في صلاته في أي لغة شاء، وهل صلاتهتصح؟
ج 1 يدعو الإنسان ربه سرًا تضرعًا وخفية، ولا يدعو بمحرم، ويدعو الله تعالى في صلاته وفي غير صلاته باللغة العربية وبغيرها من اللغات على حسب ما يتيسر له، ولا تبطل صلاته إذا دعا فيها بغير اللغة العربية، وينبغي له إذا دعا في صلاته أن يتحرى ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم من أدعية في الصلاة، وأن يجعلها في مواضعها منها مقتديًا في ذلك بهدي النبي صلى الله عليه وسلم، وقد ألف بعض العلماء في أذكار النبي صلى الله عليه وسلم وأدعيته في الصلاة وغيرها كتبًا، منها: (الكلم الطيبلابن تيمية ، و (الوابل الصيبلابن القيم ، وكتاب (رياض الصالحينللنووي ، و (الأذكار) له أيضًا، فاشتر ما تيسر لك منها لتعرف منه الأذكار والأدعية الثابتة ومواضعها وأزمانها، فذلك خير لك وأكثر فائدة.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو
عضو
نائب الرئيس
الرئيس
عبد الله بن قعود
عبد الله بن غديان
عبد الرزاق عفيفي
عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Kesimpulan : Boleh berdoa di dalam sholat maupun di luar sholat dengan bahasa Arab maupun selain bahasa Arab. Akan tetapi hendaknya seseorang berusaha bersungguh-sungguh berdoa dengan doa yang datang dari Nabi Shalallahu alaihi Wassalam
Sumber : Disini


Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafidzhahullahu :

Fatwa beliau, Silahkan dengarkan sebagai berikut :




Kesimpulan : Tidak boleh berdoa di dalam sholat dengan bahasa selain bahasa arab, kecuali bagi orang yang tidak bisa berbahasa arab.



Fatwa Syaikh Muhammad Ali Firkus Al-Jazairi Hafidzhahullahu

Teks asli :
السـؤال:
هل يجوز للأعجميِّ أن يدعوَ في الصلاة بغير اللغة العربية؟
الجـواب:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد:
فالقادرُ على الصلاة والدعاء باللغة العربية تلزَمُهُ ألفاظُها وخاصَّةً فاتحةُ الكتاب والتشهُّدُ ونحوُ ذلك، أمَّا العاجزُ عن اللغة العربية والنطقِ بها فله أن يأتيَ بالصلاة بلغته ما عدا فاتحةَ الكتاب لقوله صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ»(١)، فهي أقلُّ ما تجزئ صلاتُه بها من القرآن الكريم، فإن عَجَزَ عنها بعد جهدٍ واجتهادٍ فله أن يأتيَ مكانها بالتسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة لقوله صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم للرجل الذي قال: «إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا فَعَلِّمْنِي مَا يُجْزِئُنِي مِنْهُ»، قَالَ: «قُلْ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِّيِّ العَظِيمِ»(٢)، ولأنَّ العاجز لا يأتي من الأوامر الإلهية إلاَّ في حدود استطاعته لقوله تعالى: ﴿لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا﴾ [البقرة: ٢٨٦]، وقولِه تعالى: ﴿فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾ [التغابن: ١٦]، وقولِه صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»(٣)، جريًا على قاعدة: «لاَ تَكْلِيفَ إِلاَّ بِمَقْدُورٍ»، والدعاء لا يخرج عن هذا المعنى، فيجوز الدعاء بأيِّ عبارةٍ يُتقرَّب بها إلى الله تفيد معنى التذلُّل والانكسار والانقياد لله سبحانه وتعالى، مهما كانت عُجْمَتُهُ لعموم قوله تعالى: ﴿ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ﴾ [غافر: ٦٠]، ولقوله تعالى: ﴿فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ﴾ [البقرة: ١٨٦]، وخاصَّةً لمن لم ينطق بلغة القرآن ولسان العرب، أو يجد صعوبةً في التلفُّظ بها، واللهُ تعالى يجيبُه إذا توفَّرت الشروطُ وانتفعت الموانعُ، سواءٌ بتعجيلها له أو ادِّخارِها أو دفعِ البلايا والرزايا عنه(٤).
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم تسليمًا.
الجزائر في: ١١ ذو القعدة ١٤٢٧ﻫ
الموافق ﻟ: ٢ ديسمبر ٢٠٠٦م




(١) أخرجه البخاري في «الصلاة» باب وجوب القراءة للإمام والمأموم في الصلوات كلِّها (٧٥٦)، ومسلم في «الصلاة» (٣٩٤)، من حديث عبادة بن الصامت رضي الله عنه.
(٢) أخرجه أبو داود في «الصلاة» باب ما يجزئ الأمِّيَّ والأعجميَّ من القراءة (٨٣٢)، والنسائي في «الافتتاح» ما يجزئ من القراءة لمن لا يُحسن القرآنَ (٩٢٤)، من حديث عبد الله بن أبي أوفى رضي الله عنه. وحسَّنه الألباني في «المشكاة» (٨١٩).
(٣) أخرجه البخاري في «الاعتصام بالكتاب والسنَّة» باب الاقتداء بسنن رسول الله صلَّى الله عليه وسلَّم (٧٢٨٨)، ومسلم في «الحجِّ» (١٣٣٧)، من حديث أبي هريرة رضي الله عنه.
(٤) عن أبي سعيدٍ الخدريِّ رضي الله عنه أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم قال: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا» قَالُوا: «إِذاً نُكْثِرُ؟» قَالَ: «اللهُ أَكْثَرُ» أخرجه أحمد (١٠٩٠٣)، والبخاري في «الأدب المفرد» (٧١٠)، والحاكم (١٨١٦)، وصحَّحه الألباني في «صحيح الأدب المفرد» (٥٥٠)، والوادعي في «الصحيح المسند» (٤٢١).

Sumber : Disini
Kesimpulan : Semakna dengan Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafidzhahullahu

Wallahu a’lam