6 Syarat sebuah Ibadah dikatakan sesuai Sunnah

Kata orang Ini zaman bebas, semua orang bebas berpendapat, bebas melakukan apa yang dia ingin lakukan, tidak boleh ada yang menghalangi selama tidak menganggu orang lain….


Ada benarnya , ada tidaknya, memang benar semua orang bebas melakukan apa saja… karena dia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, inilah yang disebut hak asasi. Selama dia tidak menganggu orang lain, selama dia siap menanggung resikonya maka tidak boleh ada yang protes.. begitulah katanya..


Begitu juga dalam permasalahan agama, tidak boleh saling menyalahkan dan saling menghujat, kalau ada yang bilang menvonis sesat, ini bid’ah.. maka orang itu yang dianggap telah melanggar hak kebebasan berpendapat,  dan telah melanggar hak-hak kemanusiaan…


Anehnya, kalau untuk urusan pribadi , urusan organisasi dan urusan partai maka kita boleh marah..boleh saling menghujat, boleh saling menyalahkan … bahkan saling menyerang,..


Boleh menyalahkan orang lain utnuk urusan dunia tapi tidak boleh menyalahkan orang lain untuk urusan akherat, aneh ??


Mungkin bagi yang membaca pembukaan diatas akan melihat bahwa antara pembukaan dengan isi catatan ini kaitannya tidak begitu jelas, maka saya katakan tidak mengapa,  sekarang zaman bebas.. semua bebas berpendapat, dan saya bebas menulis… selama siap bertanggung jawab di dunia dan di akherat.


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda dalam hadits Aisyah Rhadiyallahu ‘anha  :


مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan di dalam urusan (agama )ini yang bukan bagian darinya, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim No. 4589)


Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullah ketika membahas hadits Umar bin Khatab Rhadiyallahu 'anhu :


إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى


“Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya”  (HR. Bukhori- Muslim)


Beliau berkata :


“Hadits ini adalah satu satu pondasi agung di dalam amalan hati, karena sesungguhnya niat termasuk dari amalan hati. Para ulama berkata ; dan hadits ini adalah setengah dari agama, karena hadits ini merupakan pembeda amalan batin, sedangkan Hadits Aisyah Rhadiyallahu 'anha “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan di dalam urusan (agama) ini yang bukan bagian darinya, maka amalan tersebut tertolak.” Dan dalam riwayat lain  ‘“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunan dari kami, maka amalannya tertolak.”  Adalah pembeda untuk amalan dzhohir.” (Ta’liqot Arbain An-Nawawiyah)


Dan dalam penjelasan beliau ini dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah amalan harus memenuhi dua syarat agar dapat diterima oleh Allah .




  1. Mengikhlaskan peribadahan terebut hanya untuk Allah semata

  2. Ibadah tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam.


Dan untuk pembahasan pada syarat pertama , para ulama biasanya membahasnya pada pembahasan aqidah dan tauhid, dan syarat yang kedua dibahas pada pembahasan fiqih dan ushul fiqih.


Dan insya Allah kali ini catatan ringkas saya akan sedikit member tambahan perincian mengenai syarat yang kedua, yaitu beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam .


Agar sesuatu peribadahan bisa dikatakan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam maka harus memenuhi 6 syarat, yaitu :


1.  Sebab


Barangsiapa yang membuat sebuah peribadahan dengan sebuah sebab yang sebab itu bukan dari syariat, maka amalan itu tertolak.


Misalnya seseorang yang setiap masuk rumah maka dia melaksanakan sholat sunnah dua raka’at dengan sebab masuknya dia ke rumahnya, atau seperti seseorang yang berpuasa pada setiap  tanggal lahirnya. Maka amalan-malan tersbut tertolak, karena masuk rumah bukan sebab untuk sholat sunnah begitu juga tanggal lahir bukan sebab untuk mengerjakan puasa.


2.  Jenis


Apabila seseorang mengerjakan sebuah amalan ibadah dengan jenis yang bukan disyariatkan maka amalan itu tertolak.


Misalnya, seseorang berkurban pada hari Iedul  Adha dengan hewan kuda, maka amalannya tidak diterima, karena syariat telah menjelaskan jenis untuk ibadah kurban yaitu hewa Unta, Sapi atau Kambing / Domba.


Begitu juga apabila seseorang berkurban dengan 1000 ekor ayam yang harganya sama dengan satu ekor kambing bahkan mungkin lebih . Maka amalan itu tetap tertolak sebagai amalan kurban.


3. Jumlah, kadar atau takaran


Semisal seseorang yang sholat maghrib empat raka’at, maka amalannya tertolak. Walaupun niatnya baik,yaitu  ingin banyak beribadah kepada Allah melebihi dari yang disyariatkan.


4. tata cara


Barangsiapa yang menyelisihi tata cara yang dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam , maka amalan ibadahnya tersebut tertolak.


Semisal seseorang yang melakukan sholat dan melakukan sujud dahulu baru kemudian ruku’, maka ini tertolak karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam mengajarkan bahwa ruku’ dahulu sebelum sujud dan bukan sebaliknya


5. Waktu


Apabila sebuah ibadah terkait dengan waktu tertentu baik terkait dengan waktu pengerjaan maupun larangan pengerjaan, maka tidak boleh melanggarnya.


Misalkan sesorang yang mengerjakan sholat dhuhur sebelum waktunya, maka sholatnya tidak sah.


Begitu juga seseorang yang berpuasa pada waktu yang tidak diperbolehkan , semisal pada hari iedul fitri dan iedul adha, maka amalan tersebut tertolak.


عَنْ أَبِى عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رضى الله عنه - فَقَالَ هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ صِيَامِهِمَا يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ ، وَالْيَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ


“ Sebagaimana Dari Abu ‘Ubaid, budak yang dimerdekakan Ibnu Azhar, ia berkata, “Aku merayakan hari ‘Ied bersama ‘Umar bin al Khaththab, kemudia dia berkata, ‘Ini adalah dua hari yang Rasulullah melarang kita untuk berpuasa padanya, hari dimana kalian berbuka puasa dan hari lainnya, hari dimana kalian memakan hewan kurban kalian’” (HR. al Bukhari no. 1990, Muslim no. 1137, Abu Dawud no. 2399, at Tirmidzi no. 769 dan Ibnu Majah no. 1722)


6. Tempat


Begitu juga tempat, apabila seseorang mengerjakan sebuah ibadah di luar tempat yang disyariatkan maka amalan tersebut tertolak. Sebagaimana seseorang yang melakukan I’tikaf di 10 hari di bulan ramadhan di dalam rumahnya, maka I’tikafnya tidak sah. Karena Allah berfirman :


وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ


“Sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid ‘ (QS. Al-Baqarah : 187)



Wallahu a’lam


 


Sumber  Catatan :


Ta’liqot Arbain An-Nawawiyah, Ibnu Utsaimin Rahimahullah


Syarah Qowaidh wa ushul  Jami’, Ibnu Utsaimin Rahimahullah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar