Jenis Ibadah Yang paling Utama
Al-Imam Ahmad bin Ali Al-Miqriziy Rahimahullahu dalam kitabnya Tajriidut Tauhid
menyebutkan beberapa pendapat manusia tentang jenis Ibadah yang paling utama,
berikut pendapat-pendapat tersebut :
Pendapat Pertama mengatakan bahwa Ibadah yang paling
bermanfaat dan paling utama adalah yang paling berat dan sukar bagi jiwa, karena
ganjaran pahala berdasarkan kesukaran.
Pendapat Kedua mengatakan bahwa ibadah yang paling
utama dan bermanfaat adalah menjauhkan diri dan zuhud di dalam perkara dunia
dan membatasi diri sebisa mungkin dalam perkara tersebut.
Pendapat Ketiga Mengatakan bahwa ibadah yang paling
utama adalah ibadah yang mengandung manfaat kepada pihak lain seperti melayani
orang fakir, menyibukkan diri terhadap kemaslahatan manusia dan menolong mereka
dengan kedudukan, harta dan manfaat.
Pendapat Keempat mengatakan
Ibadah yang paling utama diatas keridhoan Allah dan menyibukkan diri setiap
waktu dengan ibadah yang paling afdhol pada waktu tersebut. Misalkan pada masa
Jihad, maka ibadah yang paling utama adalah berjihad walaupun berkonsekuensi meninggalkan
sholat malam dan puasa sunnah di siang hari yang selalu mereka laksanakan di
waktu aman. Begitu juga ketika kedatangan tamu maka ibadah yang utama pada saat
itu adalah menjamu tamu.
Dan mereka yang berpendapat
dengan pendapat keempat ini adalah ahli ibadah mutlak, mereka berpindah dari
satu ibadah ke ibadah lainnya dengan mengharapkan ridho Allah. Dan pendapat
keempat ini yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim Rahimahullahu
Wallahu a’lam
Sumber : Minhatul Khamied,
Kholid bin Abdullah Al-Dubainy
Hukum Berdoa di Dalam Sholat dengan Menggunakan Bahasa Indonesia
Tidak semua orang bisa berbahasa arab dengan
fasih, sehingga terkadang terkendala ketika hendak berdoa untuk meminta sesuatu kepada Allah di dalam sholat . Maka pertanyaan
yang sering sekali timbul adalah bolehkah berdoa dengan bahasa Indonesia ketika
dalam sholat ??
Berikut kesimpulan dari fatwa-fatwa ulama masa kini, beserta sumber aslinya.
Fatwa Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
No. 5782
Teks Fatwa asli :
السؤال الأول من الفتوى رقم ( 5782 )
س 1 : ما هي كيفية الدعاء ، وهل يجوز للإنسان أن يدعو دعوته في صلاته في أي لغة شاء، وهل صلاتهتصح؟
ج 1 : يدعو الإنسان ربه سرًا تضرعًا وخفية، ولا يدعو بمحرم، ويدعو الله تعالى في صلاته وفي غير صلاته باللغة العربية وبغيرها من اللغات على حسب ما يتيسر له، ولا تبطل صلاته إذا دعا فيها بغير اللغة العربية، وينبغي له إذا دعا في صلاته أن يتحرى ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم من أدعية في الصلاة، وأن يجعلها في مواضعها منها مقتديًا في ذلك بهدي النبي صلى الله عليه وسلم، وقد ألف بعض العلماء في أذكار النبي صلى الله عليه وسلم وأدعيته في الصلاة وغيرها كتبًا، منها: (الكلم الطيب) لابن تيمية ، و (الوابل الصيب) لابن القيم ، وكتاب (رياض الصالحين) للنووي ، و (الأذكار) له
أيضًا، فاشتر ما تيسر لك منها لتعرف منه الأذكار والأدعية الثابتة ومواضعها
وأزمانها، فذلك خير لك وأكثر فائدة.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله
وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو
|
عضو
|
نائب الرئيس
|
الرئيس
|
عبد الله بن قعود
|
عبد الله بن غديان
|
عبد الرزاق عفيفي
|
عبد العزيز بن عبد الله بن باز
|
Kesimpulan : Boleh berdoa di dalam sholat maupun di luar sholat dengan bahasa Arab
maupun selain bahasa Arab. Akan tetapi hendaknya seseorang berusaha bersungguh-sungguh berdoa dengan doa yang datang dari Nabi Shalallahu alaihi Wassalam
Sumber : Disini
Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafidzhahullahu :
Fatwa beliau, Silahkan dengarkan sebagai berikut :
Kesimpulan : Tidak boleh berdoa di dalam sholat dengan bahasa selain bahasa
arab, kecuali bagi orang yang tidak bisa berbahasa arab.
Fatwa Syaikh Muhammad Ali Firkus Al-Jazairi
Teks asli :
السـؤال:
هل يجوز للأعجميِّ أن يدعوَ في الصلاة بغير اللغة
العربية؟
الجـواب:
الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاة والسلام على
من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمَّا بعد:
فالقادرُ على الصلاة والدعاء باللغة العربية
تلزَمُهُ ألفاظُها وخاصَّةً فاتحةُ الكتاب والتشهُّدُ ونحوُ ذلك، أمَّا العاجزُ عن
اللغة العربية والنطقِ بها فله أن يأتيَ بالصلاة بلغته ما عدا فاتحةَ الكتاب لقوله
صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ
الكِتَابِ»(١)،
فهي أقلُّ ما تجزئ صلاتُه بها من القرآن الكريم، فإن عَجَزَ عنها بعد جهدٍ
واجتهادٍ فله أن يأتيَ مكانها بالتسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة لقوله
صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم للرجل الذي قال: «إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ أَنْ
آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا فَعَلِّمْنِي مَا يُجْزِئُنِي مِنْهُ»، قَالَ: «قُلْ:
سُبْحَانَ اللهِ، وَالحَمْدُ للهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ،
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِّيِّ العَظِيمِ»(٢)، ولأنَّ العاجز لا يأتي من الأوامر
الإلهية إلاَّ في حدود استطاعته لقوله تعالى: ﴿لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا﴾ [البقرة: ٢٨٦]، وقولِه تعالى: ﴿فَاتَّقُوا اللهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ﴾ [التغابن: ١٦]، وقولِه صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «إِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»(٣)،
جريًا على قاعدة: «لاَ تَكْلِيفَ إِلاَّ بِمَقْدُورٍ»، والدعاء لا يخرج عن هذا
المعنى، فيجوز الدعاء بأيِّ عبارةٍ يُتقرَّب بها إلى الله تفيد معنى التذلُّل والانكسار
والانقياد لله سبحانه وتعالى، مهما كانت عُجْمَتُهُ لعموم قوله تعالى: ﴿ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ﴾ [غافر: ٦٠]، ولقوله تعالى: ﴿فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ
دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ﴾ [البقرة: ١٨٦]، وخاصَّةً لمن لم ينطق بلغة
القرآن ولسان العرب، أو يجد صعوبةً في التلفُّظ بها، واللهُ تعالى يجيبُه إذا
توفَّرت الشروطُ وانتفعت الموانعُ، سواءٌ بتعجيلها له أو ادِّخارِها أو دفعِ
البلايا والرزايا عنه(٤).
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد
لله ربِّ العالمين، وصلى الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم
الدين، وسلّم تسليمًا.
الجزائر في: ١١ ذو القعدة ١٤٢٧ﻫ
الموافق ﻟ: ٢ ديسمبر ٢٠٠٦م
(١) أخرجه البخاري في «الصلاة» باب وجوب القراءة للإمام والمأموم في
الصلوات كلِّها (٧٥٦)، ومسلم في «الصلاة» (٣٩٤)، من حديث عبادة بن الصامت رضي الله
عنه.
(٢) أخرجه أبو داود في «الصلاة» باب ما يجزئ الأمِّيَّ والأعجميَّ من
القراءة (٨٣٢)، والنسائي في «الافتتاح» ما يجزئ من القراءة لمن لا يُحسن القرآنَ
(٩٢٤)، من حديث عبد الله بن أبي أوفى رضي الله عنه. وحسَّنه الألباني في «المشكاة»
(٨١٩).
(٣) أخرجه البخاري في «الاعتصام بالكتاب والسنَّة» باب الاقتداء بسنن رسول
الله صلَّى الله عليه وسلَّم (٧٢٨٨)، ومسلم في «الحجِّ» (١٣٣٧)، من حديث أبي هريرة
رضي الله عنه.
(٤) عن أبي سعيدٍ الخدريِّ رضي الله عنه أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه
وآله وسَلَّم قال: «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ
وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا
أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الآخِرَةِ،
وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا» قَالُوا: «إِذاً
نُكْثِرُ؟» قَالَ: «اللهُ أَكْثَرُ» أخرجه أحمد (١٠٩٠٣)، والبخاري في «الأدب
المفرد» (٧١٠)، والحاكم (١٨١٦)، وصحَّحه الألباني في «صحيح الأدب المفرد» (٥٥٠)،
والوادعي في «الصحيح المسند» (٤٢١).
Sumber : Disini
Kesimpulan : Semakna dengan Fatwa Syaikh
Sholih Al-Fauzan Hafidzhahullahu
Wallahu a’lam
Pembuktian Kasus Zina dengan Metode Modern
Fatwa Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
Fatwa Nomor:3339
Fatwa Nomor:3339
Pertanyaan
: Ketika empat orang saksi untuk membuktikan kasus perzinaan tidak ada
dan akhirnya tindakan kriminal dibuktikan di persidangan berdasarkan kepada
kesaksian biasa, hasil penyelidikan ahli kimia, dan ahli sidik jari serta
keterangan saksi di tempat kejadian perkara (TKP). Jika demikian, maka apakah
pihak yang menuduh itu terkena hukuman Qadzaf (tuduhan zina)? Tampaknya, ini
adalah masalah tafsir bebas atas ayat terkait kasus ini.
Jawaban : Kasus perzinaan tidak boleh dibuktikan dengan hasil penyelidikan
ahli kimia, ahli sidik jari, dan keterangan saksi di TKP karena semua itu
hanya menunjukkan adanya percampuran, memancing tuduhan, memunculkan keraguan
dalam diri, dan tidak bisa dijadikan bukti untuk menjatuhkan hukuman zina
kepada pelakunya. Selain itu, cara-cara seperti itu juga tidak bisa dijadikan
bukti untuk menjatuhkan hukuman Qadzaf kepada orang yang melemparkan tuduhan
perzinaan kepada orang lain. Allah Ta'ala lebih tahu tentang hamba-Nya dan
lebih sayang terhadap diri mereka daripada mereka sendiri. Oleh sebab itu,
Allah tetap memberikan sanksi Qadzaf kepada orang-orang yang melemparkan
tuduhan perzinaan kepada orang lain tanpa mendatangkan empat orang saksi.
Allah Subahanu wa Ta'ala itu Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana dalam syariat
yang diturunkan-Nya. Jika memang ada cara lain untuk menolak hukuman Qadzaf,
maka Allah Subhanahu wa Ta'ala tentu sudah menjelaskannya dalam Alquran atau
wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Allah
tidaklah pelupa. Orang yang mengenal syariat Allah dan hikmahnya dengan baik
pasti sudah mengetahui efek hukuman Qadzaf dalam menanggulangi penyebaran
zina, melindungi harga diri, dan menutup celah untuk tindakan asusila.
Mengingat besarnya tingkat bahaya tindakan Qadzaf ini, maka Allah Subhanahu
wa Ta'ala mewajibkan keberadaan minimal empat orang saksi yang melihat tindak
perzinaan secara langsung. Dalam hal ini, Allah Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana.
Komite
Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Sumber : Disini
Teks Asli :
Sٍumber : Klik disini
Adapun Syaikh Sholih
Al-Fauzan Hafidzahullahu, beliau memiliki pendapat yang sama , metode modern
seperti foto tidak bisa dijadikan dasar untuk hukuman Had zina, akan tetapi bisa dijadikan petunjuk dan
pelakunya dita'zir (dihukum selain hukum Had Zina)
Silahkan Dengarkan Fatwa Beliau
|
Apakah Doa Orang Kafir Yang Terdzolimi Bisa Dikabulkan ??
Dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam berpesan kepada Mu'ad bin Jabal saat mengutusnya ke Yaman,
وَاتَّقِ
دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
"Dan takutlah doa orang terzalimi, karena tidak ada hijab
(penghalang) antara dia dengan Allah." (Muttafaq 'Alaih)
Dan satu pertanyaan yang sering timbul apabila membahas hadits ini
adalah, bagaimana apabila yang terdzolimi adalah orang kafir ?? apakah doanya
juga akan dikabulkan ??
Maka sebagian ulama berpendapat bahwa doa orang kafir yang terdzolimi
maka doanya akan dikabulkan, mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma tersebut juga berdalil dengan firman Allah :
أَمَّنْ
يُجِيْبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْءَ
“Siapakah yang mengijabahi mengabulkan permintaan orang yang dalam
kesempitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah) Dia yang menghilangkan
kejelekan?” (An-Naml: 62)
Dalam ayat ini Allah tidak membedakan antara orang beriman dengan orang
kafir, maka siapa saja yang sedang dalam kesempitan maka doanya akan
dikabulkan.
Begitu juga , mereka berdalil dengan Firman Allah :
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوْا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
"Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo'a kepada Allah
dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka
sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah]. "
(Al- Ankabut: 65)
Dan diantara ulama yang berpendapat bahwa doa orang kafir yang terdzolimi
terkabul adalah Syaikh Muhammad bin
Sholih Al-Utsaimin Rahimahullahu sebagaimana dalam fatwanya berikut
(maaf, belum sempat kami terjemahkan)
Hukum Mewakilkan Ibadah dan Muamalah
Termasuk dari kemudahan Islam
adalah diperbolehkannya seseorang mewakilkan atau menggantikan sebagian amalannya
baik dalam perkara ibadah atau mualamalah. Dan tentunya tidak semua amalan bisa
digantikan dan diwakilkan , maka berikut pembagian amalan ditinjau dari sisi bisa
diwakilkan atau tidak, pembagian ini adalah pembagian dari Syaikh Muhammad bin
Sholih Al-Utsaimin Rahimahullahu .
Pertama beliau membagi menjadi dua,
yaitu amalan yang terkait hak-hak Allah dan amalan yang terkait dengan hak-hak
manusia, setelah itu beliau merinci .
Hak-hak untuk Allah terbagi
tiga jenis :
Pertama , bisa digantikan
atau diwakilkan seperti menyalurkan zakat.
Kedua, tidak bisa digantikan atau diwakilkan seperti
sholat atau wudhu.
Ketiga, Bisa digantikan
atau diwakilkan dengan syarat . Misalnya puasa, seseorang yang meninggal dalam
keadaan memiliki hutang puasa, maka walinya menggantikan menunaikan hutang
puasa tersebut.
Begitu juga ibadah haji , boleh
seseorang yang tidak mampu berangkat berhaji karena ketidakmampuan fisik diwakilkan
oleh orang lain.
Adapun Hak-hak Manusia terbagi
dua jenis :
Pertama, yang terkait
dengan individu pelaku , maka tidak bisa digantikan atau diwakilkan sama sekali
seperti seseorang yang dijatuhi hukuman Qishos atau Hudud.
Kedua, yang terkait dengan
perbuatan pelaku, maka dimungkinkan untuk diwakilkan atau digantikan misalnya
perkara jual beli dan sewa menyewa.
Wallahu a’lam
Sumber : Mudzakirotu Fiqhu (2/247),
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin Rahimahullahu
Langganan:
Postingan (Atom)