Catatan Ringkas Tentang Khulu’ ,

Khulu’ secara bahasa bermakna menanggalkan pakaian, karena sepasang suami istri adalah pakaian bagi pasangannya.
Adapun secara istilah syariat bermakna perpisahan yang terjadi pada sepasang suami istri dengan diiringi kompensasi yang diberikan istri kepada suaminya atas perpisahan tersebut biasanya berupa pengembalian mahar.
Khulu’  adalah sesuatu yang diakui dalam syariat, sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (QS. Al-Baqarah : 229)
Dan juga berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya  istri Tsabit bin Qais bin Syamas, ketika ia datang kepada Nabishallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata:


"يا رسول الله! ثابت بن قيس ما أعيب عليه في خلق ولا دين، ولكني أكره الكفر في الإسلام، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أتردين عليه حديقته؟ قالت: نعم. فقال النبي صلى الله عليه وسلم لزوجها: خذ الحديقة وطلقها تطليقة" 
" Wahai Rasulullah , Tsabit bin Qois saya tidak mencelanya dalam hal akhlak dan agama, akan tetapi aku membenci kekufuran di dalam islam", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya", Ia menjawab: "Ya", maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada suaminya: "Ambilah kembali kebunmu dan ceraikan ia". (HR: Al Bukhori:5273)

Kekufuran yang dimaksud dalam hadits ini adalah kufur nikmat,  beliau (Istri Tsabit Radhiyallahu anha ) khawatir tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dan mengkufuri kebaikan suaminya. Wallahu a’lam
Dan tidak dinukilkan ada ulama yang mengingkari disyariatkannya perkara Khulu’ ini kecuali dari Bakr bin Abdullah Al-Muzanni Rahimahullahu .
Dan Khulu’ sah terjadi antara sepasang suami istri tanpa harus sampai ke Hakim, sebagaimana juga thalaq bisa jatuh tanpa harus sampai ke hakim. Ini adalah pendapat kebanyakkan ulama dan pendapat ini shohih dari Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhuma . Ini juga pendapat Syuraih,  Malik, Asy-Syafi’I, Ahmad, Ishaq, Al-Bukhori dan selain mereka.  Akan tetapi harus diingat, bahwa ini adalah secara tinjauan fiqih, adapun secara hukum Adminitrasi Negara maka biasanya tetap harus ada proses yang harus diselesaikan di KUA atau Pengadilan Agama. Wallahu a’lam
Dan atas pendapat yang kuat, bahwa salah satu syarat khulu’ adalah adanya perselisihan diantara suami istri tersebut. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri, Abu Ubaid, Dawud, Ibnul Mundzir dan termasuk yang menguatkan pendapat ini  adalah Ibnu Hazm , Ibnu Taimiyah dan Ibnu Utsaimin Rahimahumullahu  .
Syaikhul Islam mengatakan bahwa Khulu’ yang terjadi pada pasangan yang masih saling menginginkan berlangsungnya pernikahan adalah muhdats (Bid’ah) karena Khulu’ terjadi apabila seorang istri membenci suaminya dan menginginkan berpisah darinya atau membencinya kemudian mengembalikan maharnya. (Majmu’ Al-Fatawa 32/282)
Para ulama berdalil salah satunya dengan hadits Tsauban Radhiyallahu anhu , Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :


أيما امرأة سألت زوجها الطلاق من غير بأس فحرام عليها رائحة الجنة 
“Wanita manapun yang meminta cerai kepada suami tanpa alasan syar'i maka diharamkan baginya baunya surga” (HR. Abu Dawud: 2228)
Khulu’ terjadi dengan lafadz-lafadz yang bermakna melepaskan dengan diiringi niat, misal dengan ucapan “aku membebaskanmu” , atau “aku berlepas diri darimu “ atau makna-makna yang semisal.
Dan mayoritas ulama berpendapat tentang sahnya Khulu’ dengan kompensasi lebih dari mahar yang dahulu diberikan oleh sang suami selama kedua belah pihak ridho. Ini adalah pendapat Ikrimah, Mujahid, An-Nakho’I Rahimahumullahu . Ini juga pendapat empat madzhab yang empat, hanya saja Hanafiyah berpendapat apabila suami mengambil lebih dari maharnya maka dia harus menyedekahkan kelebihan itu.  Dan Al-Hanabilah juga Ishaq Rahimahullahu berpendapat dibencinya (Makruh) mengambil kelebihan tersebut dan lebih menyukai (Mustahab) untuk tidak mengambilnya.
Dan pendapat ini shohih dari Ibnu Umar dan juga datang dari Utsman Radhiyallahu anhum  dengan sanad yang cukup baik.
Dan apabila terjadi Khulu’ tanpa kompensasi maka sah atas pendapat yang kuat, misalkan seorang suami tidak menuntut apa-apa dari sang istri. Ini adalah pendapat Malik , Ahmad dalam satu riwayat  dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahumullahu . Karena kompensasi dalam Khulu’ adalah hak seorang suami, dan dia berhak menggugurkan haknya sebagaimana dalam hak-hak lainnya.
Dan Khulu’ tidak seperti Thalaq Roj’iy ( Thalaq pertama dan kedua) dimana ketika masih dalam masa iddah maka wajib bagi seorang suami untuk menyantuni istrinya yang telah dithalaq tersebut, pada kasus khulu’ nafkah  dari suami sudah terputus.
Seorang suami yang telah mengkhulu’ istrinya tidak bisa melakukan Ruju’ atau membatalkan Khulu’nya, baik ketika Khulu’ tersebut dengan kata-kata Khulu’ atau Thalaq. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya Al-Hasan, Atha’, Tho’us, An-Nakho’i, Ats-tsauri, Al-Auza’I, Malik, Asy-Syafi’I Rahimahumullahu .
Wallahu A’lam
Sumber : Fathul Alam, Muhammad Hizam Al-Ibbi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar