Hukum beramal dengan hadits Lemah

Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum mengamalkan hadits lemah menjadi tiga golongan :


Golongan pertama berpendapat bahwa boleh mengamalkan hadits lemah secara mutlak yakni tanpa syarat, diantara yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah, Ibnul Hammam dan As-Sindi.


Berkata Imam An-Nawawi  Rahimahullah dalam Muqodimmah kitab beliau Al-Adzkar : “ Ulama dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih dan selainnya mengatakan : “ Diperbolehkan dan diutamakan beramal dalam masalah keutamaan, At-targhib dan At-tarhib dengan hadits  lemah selama bukan hadits palsu. Dan adapun dalam permasalahan hukum seperti halal, haram, perdagangan, nikah,  Thalaq dan selainnya maka tidak boleh beramal di dalamnya kecuali dengan dengan hadits yang shahih atau hasan. Kecuali dalam rangka berhati-hati dalam permasalahan darinya, sebagaimana ketika diriwayatkan hadits lemah tentang dibencinya sebagian jenis perdagangan atau pernikahan maka lebih utama untuk menjauh darinya akan tetapi tidak wajib. “


Golongan Kedua berpendapat tidak bolehnya mengamalkan hadits lemah secara mutlak. Dan ini adalah pendapat ulama dari kalangan Muhaqqiq ahli Hadits, diantara mereka adalah Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Al-Hafidz Yahya bin Muhammad, Ibnu Abi Hatim, Yahya bin Ma’in, Ibnul Arobi Al-Mailki, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi, As-Syatibhi, Abu Walid Al-Baji, Ibnul Mulaqqin, Imam As-Syaukani, Abu Hatim dan Abu Zur’ah . Adapun dari kalangan ulama masa kini diantaranya adalah : Syaikh Ahmad Syakir, Al-Allamah Al-Albani dan Al-Allamah Muqbin bin Hady Al-Wadi’i.


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Qo’idah jaliyah fi Tawassul wal Wasilah (hal. 84) : “ Dan tidak diperbolehkan untuk berpegang dalam permasalah syariat diatas hadits-hadits lemah yang bukan hadits shahih maupun hasan.”


Golongan Ketiga berpendapat boleh mengamalkan hadits lemah dengan beberapa syarat. Syarat-syarat ini dinukilkan oleh Imam As-Syakhowi dalam Al-Jawahir wad Duror (2/954) dan Al-Qoulul Badi’ (hal. 285) dari guru beliau Al Hafdz Ibnu Hajar . Syarat tersebut ada 3, yaitu :




  1. Disepakati bahwa hadits tersebut adalah hadits lemah yang bukan sangat lemah, maka keluar dari syarat ini atau tertolak adalah hadits yang di dalamya terdapat rawi pendusta, tertuduh sebagai pendusta atau memiliki kesalahan-kesalahan yang parah yang bersendirian dalam periwayatan hadits tersebut.

  2. Hadits tersebut tercakup dalam kaidah-kaidah dasar agama secara umum, maka yang keluar dari syarat ini adalah hadits-hadits yang tidak memilki asal dari syariat.

  3. Tidak berkeyakinan tentang shahihnya hadits tersebut ketika beramal dengannya , agar tidak sampai menyandarkan kepada Nabi sesuatu yang tidak beliau ucapkan atau lakukan.


Dan yang berpendapat seperti ini adalah sebagian ahli fiqih di zaman-zaman terakhir.


Dan pendapat yang benar dari 3 pendapat ini adalah pendapat yang kedua, yakni tidak boleh beramal dengan hadits lemah secara mutlak. Adapun mengenai pendapat pertama  dan ketiga, maka ulama yang memegang pendapat kedua telah menjawabnya dengan jawaban yang intinya adalah sebagai berikut :


-         Tidak boleh membedakan antara beramal dengan hadits lemah dalam masalah keutamaan dan dalam masalah hukum (halal-haram dll), karena sesungguhnya semuanya adalah permasalahan agama yang tidak boleh ditetapkan kecuali dengan dalil.


-         Tidak boleh menetapkan satu hukum dalam masalah syariat agama ini kecuali dengan dalil yang shahih, karena barangsiapa yang mengatakan bahwa suatu perkara adalah wajib atau sunnah atau hukum-hukum syariat lainnya tanpa diiringi dengan dalil-dalil yang shahih maka dia telah membuat syariat baru dalam agama.


-         Terkadang satu amalan bid’ah tercakup dalam satu kaidah umum syariat, sehingga apabila dibuka pintu ini maka ahlul bid’ah akan mempunyai dalil atas kebid’ahannya.


-         Barangsiapa yang mengamalkan hadits lemah maka telah terkena ancaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam :


من روى عني حديثا وهو يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين


Artinya : “Barangsiapa yang meriwayatkan dariku satu hadits yang dia mengetahui bahwa sesungguhnya hadits itu dusta (terhadapku) maka dia adalah termasuk salah seorang pendusta” (HR. Ibnu Majah No. 41 dari Ali Rhadiyallahu’ anhudan dan datang dari selainnya. Dishahihkan oleh Al-Allamah Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)


Berkata Al-Allamah Al-Albani Rahimahullah yang maknanya adalah : “Sesungguhnya kami menasehatkan kaum muslimin di timur dan barat untuk meninggalkan beramal dengan hadits lemah secara mutlak…….. sampai dengan ucapan beliau ….dan dalam permasalahan tersebut , agar terlepas terjatuh dalam perkara berdusta atas nama Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam (Shahih At-targhib wa Tarhib 1/65-66)



Sumber Catatan : Kitab Fathul Latief fi hukmil amal bi hadits dho’if karya Syaikh Abul Hasan Bin Ali Ar-Rojihy Hafidhahullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar