I'TIKAF

I’TIKAF


I’tikaf secara syariat maknanya adalah berdiam diri di mesjid yang dilakukan oleh Individu tertentu dengan cara-cara yang khusus dengan diiringi niat.


Hukum I’tikaf adalah Mustahabah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah ta’ala :


وَلآ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ


Artinya : “Dan janganlah kamu menyentuh mereka, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)


Serta dari sunnah sebagaimana dalam hadits Aisyah, Ibnu Umar dan Abu Sa’id Radhiyallahu’ anhum :


أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يعتكف في العشر الأواخر من رمضان


Artinya : "Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam biasa melakukan i'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan." (Mutaffaqun Alaihi)


Dan dinukilkan Ijma’ tentang mustahabnya I’tikaf kecuali bagi yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf maka hukumnya menjadi wajib baginya untuk menunaikannya. Diantara yang menukilkan ijma’ dalam permasalahan ini diantaranya : Ibnul Mundzir, Ibnu Qudamah dan An-Nawawi dan Ibnu Abdil Baar. Adapun I’tikaf nadzar maka wajib untuk ditunaikan sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu’ anhuma :


لَمَّا قَفَلْنَا مِنْ حُنَيْنٍ سَأَلَ عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَذْرٍ كَانَ نَذَرَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ اعْتِكَافٍ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَفَائِهِ


Artinya : “Ketika kami tiba dari perang Hunain, Umar bertanya kepada nabi Shalallahu ‘alahi wassallam tentang nadzar, Dia (umar) telah bernadzar ketika masa Jahiliyah untuk melakukan I’tikaf , Maka nabi Shalallahu ‘alahi wassallam merintahkan kepada Umar untuk menunaikannya” (HR. Bukhori No. 4320 dan Muslim No. 1646)


Diperbolehkan untuk tidak menyempurnakan Itikaf, maknanya apabila seseorang berniat untuk beri’tikaf selama sepuluh hari kemudian pada hari ketiga dia membatalkannya maka tidak ada dosa baginya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Imam As-Syafi’i. Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam telah membatalkan I’tikafnya  pada bulan Ramadhan dan kemudian ber’tikaf pada bulan Syawal. Sebagaimana dalam hadits Aisyah :


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ


Artinya : "Nabi beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Maka, aku membuatkan untuk beliau sebuah tenda. Setelah shalat subuh, beliau masuk ke dalam tenda itu.Kemudian Hafshah meminta izin kepada Aisyah untuk membuat sebuah tenda pula, maka Aisyah mengizinkannya. Kemudian Hafshah membuat tenda. Ketika Zainab binti Jahsy melihat tenda itu, maka ia membuat tenda yang lain. Ketika hari telah subuh, Nabi melihat tenda-tenda itu Lalu, Nabi bertanya, ' apa ini?' Maka, beliau diberitahu Lalu, Nabi bersabda, Bagaimanakah sebaiknya menurut pikiran kamu mengenai mereka? ' Lalu, beliau menghentikan i'tikafnya dalam bulan itu. Kemudian beliau beri'tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Syawal." (HR. Bukhori No. 2033 Muslim No. 1173)


Dan boleh melakukan I’tikaf di luar bulan Ramadhan sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam dalam hadits ini melakukan I’tikaf di bulan Syawal. Dan tidak disyaratkan harus berpuasa ketika melakukannya kecuali apabila dia bernadzar untuk melakukan I’tikaf dalam keadaan berpuasa . Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Musaayib, Umar Bin Abdul Aziz, As-Syafi’i,Ibnul Mundzir,Ishaq dan satu riwayat yang terkenal dari Ahmad Rahimahumumullah .


Disyaratkan beri’tikaf pada mesjid-mesjid yang ditegakkan padanya sholat Jama’ah sehingga tidak perlu keluar dari mesjidnya tempat beri’tikaf untuk menghadiri Sholat Jama’ah. Ini Adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq dan Abu Tsaur Rahimahumullah .


Dan bagi para wanita tidak sah melakukan I’tikaf kecuali di mesjid sehingga tidak boleh melakukannya di dalam rumah atau kamar, ini adalah pendapat Ahmad dan As-Syafi’i. Sebagaimana  dalam hadits Aisyah Radhiyallahu’ anhu yang baru saja lewat .


Dan tidak ada batasan waktu paling sedikit untuk melakukan I’tikaf, I’tikaf sah walaupun dilaksanakan beberapa saat dengan diiringi niat tentunya. Ini adalah pendapat As-Syafi’i, Dawud dan satu riwayat dari Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnul Mundzir Rahimahumullah.


Dan berdasarkan Ijma’ boleh bagi orang yang beri’tikaf untuk keluar dari mesjid untuk kencing dan buang hajat. Dinukilkan Ij’ma dalam permasalahan ini oleh lebih dari satu ulama diantaranya adalah Ibnul Mundzir dan Ibnu Qudamah Rahimahumallah. Adapun keluar dari mesjid untuk perrkara-perkara yang dia butuh kepadanya seperti makan dan minum, maka diperbolehkan apabila tidak ada yang mengantarkan kepadanya. Sebagaimana dalam hadits Aisyah Radhiyallahu’ anha :


وَكَانَ لا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلآ لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا


Artinya : "Dan apabila beliau beri'tikaf, maka beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali apabila memiliki keperluan." (HR. Bukhori No. 2029 dan Muslim No. 297)


Begitu juga boleh untuk keluar dari mesjid dalam rangka menunaikan sesuatu yang wajib, misalkan seseorang melakukan I’tikaf di mesjid yang tidak ditegakkan sholat Jum’at maka boleh baginya untuk keluar menuju mesjid yang ditegakkan di dalamnya sholat Jum’at.


Apabila keluar dari Mesjid tanpa adanya kebutuhan maka i’tikafnya menjadi batal walaupun hanya sebentar, Ini adalah pendapat Imam Madzhab yang empat.


Adapun apabila yang keluar dari mesjid hanya sebagian anggota tubuhnya saja, maka tidak mengapa . Sebagaimana dalam hadits Aisyah Radhiyallahu’ anha :


كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله


Artinya : “ Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam apabila beliau beri’tikaf, beliau memasukkan kepalanya kepadaku [1] maka kemudian aku menyisir rambut beliau” (HR. Bukhari No. 2031 dan Muslim No. 297)


Bagi yang ingin melakukan I’tikaf pada 10 hari bulan Ramadhan, maka I’tikafnya dimulai ketika terbenamnya matahari pada tanggal 20 Ramadhan, Ini adalah pendapat ulama-ulama madzhab yang empat dan pendapat beberapa ulama dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil bin Hady Rahimahullah . Karena hari dimulai dengan terbenamnya matahari sebagaimana sholat tarawih yang tidak dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan dilaksanakan pada malam setelah terbenamnya matahari di hari terakhir bulan sya’ban, ini dalil yang menunjukkan bahwa hari dimulai pada terbenamnya matahari.


Dan selesai I’tikaf pada terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam Ied) . Ini adalah pendapat As-Syafi’i dan Al-Auza’i Rahimahumullah .


Dan tidak disyariatkan untuk menempuh perjalanan jauh untuk berziarah ke mesjid tertentu tanpa memiliki tujuan lainnya, Hal ini berdasarkan kesepakatan Imam madzhab yang empat. Dan dikecualikan pada 3 mesjid, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’ anhu , Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam bersabda :


لا تُشَدُّ الرِّحَالُ الا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى




Artinya : ”Dan tidaklah bersusah payah melakukan perjalanan jauh kecuali ke tiga Mesjid : Masjidil Al-Haram, Mesjid Rasul (Mesjid Nabawi)  dan Mesjid Al-Aqsha” (HR. Bukhori 1189 dan Muslim No. 3384)






[1] Rumah Rasulullah Shalallahu 'alahi wassallam bersebelahan dengan Mesjid beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar