QODHO (MENGGANTI) PUASA

QODHO (MENGGANTI) PUASA


Qadha (mengganti) puasa bgi yang memiliki hutang puasa tidak wajib dilaksanakan secara berurutan dan boleh dilakukan secara terpisah. Ini adalah pendapat Mayoritas ulama diantaranya dari kalangan para sahabat yaitu Muadz, Anas bin Malik, Abu Hurairah ,Ibnu Abbas dan dari Tabi’in adalah Sa’id Bin Zubair, Mujahid, Hasan Al-Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Bukhori, Syaikh Muqbil bin Hady dan Ibnu Utsaimin. Akan tetapi tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka bahwa lebih utama apabila dilaksanakan secara berurutan.


Boleh menunda Qadha dengan syarat tidak sampai memasuki Ramadhan berikutnya, ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sebagaimana dalam hadits Aisyah Radhiyallahu’ anha :


عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ


Artinya : Aisyah Radhiyallahu’ anha berkata, "Aku memiliki tanggungan (hutang) puasa Ramadhan, dan aku tidak dapat mengqadhanya melainkan di bulan Sya'ban “ (HR. Bukhori No. 1959 dan Muslim No. 1146)


Barangsiapa yang meninggal dan masih memiliki tanggungan (hutang) puasa wajib, baik itu puasa nadzar, puasa kafaarat atau hutang dari puasa Ramadhan maka walinya berpuasa untuknya. Ini adalah pendapat ulama-ulama ahli hadits, Abu Tsaur dan  Al-Auza’i. Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Al-Baihaqi,Ibnu Hazm, Ibnu Hajar, As-Shan’ani, Syaikh Muqbil bin Hady dan Ibnu Utsaimin Rahimahumullah .Berdasarkan keumumman hadits Aisyah Rhadiyallahu’ anha, Rasulullah bersabda :


من مات وعليه صيام صام عنه وليه


Artinya : "Barangsiapa yang meninggal sedang ia masih menanggung kewajiban puasa, maka walinya berpuasa untuknya." (HR. Bukhori No. 1952 dan Muslim No. 1147)


Akan tetapi hukumnya bagi sang wali tidaklah wajib, Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Diantaranya adalah Ibnu Utsaimin Rahimahullah, beliau berdalil dengan firman Allah ta’ala :


وَلآ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى


Artinya : “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS. Al-An’am : 164)


Wali yang dimaksud dalam hadits ini adalah seluruh kerabat, baik ahli waris maupun bukan. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar Rahimahullah .


Dan ini adalah hukum bagi yang meninggal dalam keadaan mampu untuk berpuasa dan belum menunaikan kewajibannya hingga dia meninggal , seperti wanita yang memilki hutang puasa dari Ramadhan karena haid atau nifas kemudian dia belum menunaikannya hingga dia meninggal. Maka berpuasa untuknya walinya.


Adapun bagi yang meninggal dalam keadaan tidak mampu untuk berpuasa seperti seseorang yang sakit parah mulai awal Ramadhan hingga akhir Ramadhan yang berakhir dengan kematian maka tidak perlu bagi walinya untuk berpuasa baginya dan tidak wajib juga memberi makan orang miskin. Ini adalah pendapat mayoritas ulama diantaranya adalah Al-Baihaqi dan An-Nawawi.


Berbeda halnya ketika seseorang yang sakit parah tidak berpuasa sejak awal Ramadhan hingga akhir Ramadhan , kemudian dia sembuh dari penyakitnya pada awal syawal dan dia menunda melaksanakan kewajiban puasa yang dia tinggalkan pada bulan Ramadhan. Kemudian pada bulan dzulqo’dah dia meninggal dalam keadaan sehat. Maka dalam keadaan seperrti ini walinya berpuasa untuknya atas hutang puasa yang belum dia tunaikan.


Dan sebagian kaum muslimin banyak yang salah paham terhadap hadits ini, ditemukan di tengah kaum muslimin apabila ada seseorang yang meninggal pada pertengahan Ramadhan, maka sang wali menganggap bahwa yang meninggal memiliki hutang puasa dari pertengahan Ramadhan hingga akhir Ramadhan. Dan ini tidak benar, karena sejak pertengahan Ramadhan orang yang meninggal tersebut tidak lagi dibebani syariat karena telah meninggal sehingga tidaklah dia memiliki tanggungan atau hutang yang harus ditunaikan oleh walinya.


Dan boleh bagi selain walinya untuk membayarkan hutang puasa bagi yang meninggal sehingga tidak terkhusus pada walinya saja. Ini adalah yang tampak dari pendapat Imam Bukhori. Dikarenakan Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam memisalkannya dengan hutang dan sebagaimana sudah maklum bahwa hutang bisa dibayar oleh karib kerabat yang memiliki hutang ataupun selain karib kerabatnya. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Rhadiyallahu’ anhuma, beliau Shalallahu ‘alahi wassallam memisalkannya dengan hutang.


أن امرأة أتت رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالت  : إن أمي ماتت وعليها صوم شهر فقال أرأيت لو كان عليها دين أكنت تقضينه ؟ قالت نعم قال فدين الله أحق بالقضاء


Artinya : "Seorang wanita datang kepada Nabi Shalallahu ‘alahi wassallam . Dia berkata, “sesungguhnya ibuku meninggal, sedang dia masih mempunyai kewajiban puasa satu bulan” . Maka Rasulullah berkata : “Apa pandanganmu apabila ibumu memiliki hutang apakah engkau akan membayarnya ?? “ wanita itu menjawab :”Ya” Beliau bersabda,: “maka , hutang kepada Allah itu lebih berhak untuk ditunaikan." (HR. Bukhori No. 1953 dan Muslim No. 1148 . Dan Ini adalah lafadz dalam shohih Muslim )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar