MEREKA YANG DIBERI KERINGANAN BOLEH UNTUK TIDAK BERPUASA

MEREKA YANG DIBERI KERINGANAN BOLEH UNTUK TIDAK BERPUASA


Orang yang sedang sakit diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan wajib baginya untuk menggantinya di hari-hari yang lain, akan tetapi dalam dua keadaan saja hal tersebut diperbolehkan :


Pertama : Sakitnya tersebut benar-benar menyebabkan dia tidak mampu berpuasa atau


Kedua : Dia mampu berpuasa akan tetapi akan mengakibatkan sesuatu yang berbahaya bagi dirinya.


Dalil diperbolehkannya orang yang sedang sakit untuk tidak berpuasa adalah firman Allah Ta’ala :


فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلآ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ


Artinya : “Barangsiapa di antara kamu hadir (sedang tidak dalam safar) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 185)


Adapun sakit-sakit ringan yang tidak meyebabkan kesulitan dan bahaya apabila si sakit berpuasa, maka tidak diperbolehkan bagi dia untuk tidak berpuasa. Ini adalah pendapat As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah


Bagi orang orang yang sakit parah yang tidak diduga lagi akan sembuh (seperti koma) hukumnya sama dengan orang yang berusia lanjut yang tidak mampu untuk berpuasa (Insya Allah segera tiba pembahasannya)


Akan tetapi apabila pada kemudian hari orang yang sakit yang tidak diduga akan sembuh tiba-tiba sembuh tanpa disangka-sangka, maka wajib bagi dia untuk mengganti puasa yang dia tinggalkan tersebut. Ini adalah salah satu sisi pendapat Madzhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muqbil bin Hady Rahimahullah . berdasarkan keumumman firman Allah ta’ala :


فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ


Artinya : “Dan barangsiapa yang sakit diantara kalian atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah : 184)


Orang yang berusia lanjut yang tidak mampu untuk berpuasa, boleh baginya untuk tidak berpuasa berdasarkan ijma’ sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundir, Ibnu Abdil Baar, Al-Qurthubi, dan Imam An-Nawawi


Dan atas pendapat yang shohih tidak wajib bagi mereka untuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat Malik, Ats-tsauri, Abu tsaur, Al-Qosim Bin Muhmmad , Salim bin Abdullah, Ar-Rabi’ah dan dikuatkan oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Abdil Baar Rahimahumullah . Karena pada dasarnya puasa tidak wajib bagi mereka sehingga fidyah pun tidak wajib bagi mereka. Sebagaimana orang yang tidak mampu untuk berdiri dalam sholat maka tidak wajib bagi mereka untuk berdiri.


Allah berfirman :


لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا


Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah : 286)


Dan Mayoritas ulama seperti As-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah dan juga dari golongan para sahabat : Anas,Ibnu Abbas, Qo’is bin As-Sa’ib dan Abu Hurairah berpendapat wajibnya membayar fidyah bagi orang berusia lanjut yang tidak mampu berpuasa. Fidyah adalah memberi makan setiap hari satu orang miskin . Dan telah shohih atsar bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu’ anhu setahun atau dua tahun sebelum meninggalnya beliau, beliau tidak mampu untuk berpuasa maka beliau memberi makan orang miskin dengan roti dan dan daging  (Riwayat dalam Shohih Bukhari, Kitab Tafsir)


Dan apabila orang yang berusia lanjut tersebut mendapatkan kekuatan dan kemampuan untuk berpuasa,  maka wajib bagi dia untuk mengganti puasa yang telah dia tinggalkan sebagaimana orang yang sakit.


Barangsiapa yang merasa benar-benar kelaparan atau kehausan hingga ditakutkan akan menyebabkan kematian maka wajib bagi dia untuk membatalkan puasanya walaupun dia sedang dalam kedaan sehat dan tidak dalam perjalanan. Dan wajib bagi dia menggantinya di hari yang lain. Ini adalah pendapat Madzhab As-Syafi’iyah sebagaimana dinukil An-Nawawi dan selainnya. Allah ta’ala berfirman :


وَلآ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا


Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu(QS. An Nisa’ : 29)


Boleh bagi orang yang sedang safar untuk tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengganti di hari yang lain , Allah berfirman :


فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلآ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ


Artinya : “Barangsiapa di antara kamu hadir (sedang tidak dalam safar) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 185)


Dan batasan sebuah perjalanan  dinamakan sebuah safar atau tidak,  dikembalikan kepada adat dan kebiasaan yang ma’ruf di tengah kalangan manusia yang adil, apabila sebuah perjalanan dari satu tempat ke tempat tertentu mereka menganggapnya sebagai sebuah safar maka berlakulah hukum-hukum safar.


Dan boleh bagi orang yang safar untuk berpuasa ini adalah pendapat mayoritas ulama dan Imam madzhab yang empat. Salah satu dalilnya adalah hadits Anas, Jabir dan Abu Sa’id Radhiyallahu’ anhum. Anas bin Malik Radhiyallahu’ anhu berkata :


كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلآ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ


Artinya : " Kami melakukan safar bersama Nabi Shalallahu ‘alahi wassallam , maka tidaklah yang sedang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa, dan tidaklah orang yang tidak berpuasa  tidak mencela orang yang berpuasa." ( HR. Muslim 1116-1118 dan Hadits Anas Riwayat Bukhori 1947).


Dan bagi yang mampu untuk berpuasa ketika safar lebih utama bagi dia untuk melakukannya selama hal tersebut tidak memberatkan dirinya, ini adalah pendapat mayoritas ulama seperti Malik, As-Syafi’i dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajar.


Salah satu dalilnya adalah Hadits Abu Darda’ Radhiyallahu’ anhu :


خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان في حر شديد حتى إن كان أحدا ليضع يده على رأسه من شدة الحر وما فينا صائم إلا رسول الله صلى الله عليه و سلم وعبدالله بن رواحة


Artinya : “ Kami melakukan safar bersama Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam pada bulan Ramadhan di tengah panas yang terik sampai-sampai seorang laki-laki meletakkan tangannya diatas kepalanya disebabkan panas yang terik tersebut dan tidak ada yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam dan ibnu Rowahah “ (HR.Bukhori No. 1945 dan Muslim No.1912)


Dan bukan termasuk dari sebuah amalan kebaikan berpuasa ketika safar yang menyebabkan kesusahan dan keberatan, sebagaimana hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu’ anhu :


كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر، فرأى زحاما ورجلا قد ظلل عليه، فقال: (ما هذا). فقالوا: صائم، فقال: (ليس من البر الصوم في السفر).


Artinya : " Rasulullah dalam safar , maka beliau melihat kerumunan dan seorang laki-laki yang sedang dinaungi. Beliau bertanya, 'Apakah ini?' Mereka menjawab, 'Seseorang yang sedang berpuasa.' Maka, beliau bersabda,” 'Tidak termasuk kebaikan berpuasa dalam safar.'” ( HR. Bukhori 1946)


Dan bagi yang hendak melakukan safar tidak boleh berniat membatalkan puasanya sejak malam hari, karena safar terjadi bukan karena niatnya akan tetapi ketika bangkit berangkat safar. Dinukil Ijm’a permasalahan ini oleh Ibnu Abdil Baar dan juga oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya (2/278).


Wanita yang sedang hamil dan menyusui apabila ditakutkan akan berpengaruh buruk terhadap janin atau bayinya atau juga terhadap sang ibu sendiri maka boleh baginya untuk tidak berpuasa dan wajib untuk menggantinya di hari-hari yang lain serta tidak diwajibkan membayar fidyah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashri, Atha’, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Abu Hanifah, At-Thabari, Abu Tsaur, Al-Laits, dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muqbil bin Hady, Ibnu Baaz dan Ibnu Utsaimin Rahimahumullah .Bahkan dinukil Ijma’ oleh Ibnu Qudamah dalam permasalahan ini.


Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi Radhiyallahu’ anhu , Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam bersabda  :


إن الله تعالى وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحامل أو المرضع الصوم


Artinya : “ Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak membebani) kepada orang yang sedang melakukan safar untuk berpuasa dan setengah sholat serta tidak membebani (wanita) yang hamil dan yang sedang menyusui untuk berpuasa” (HR Abu Dawud (2408) dan At-Tirmidzi 715, dishohihkan Al-Allamah Muqbil bin Hady Al-Wadi'i dalam Shohihul Musnad No. 127)


Dan diharamkan bagi wanita yang sedang berhaid dan nifas melakukan puasa, apabila dia melakukan puasa maka puasanya tidak sah dan tidak teranggap berdasarkan Ijma’. Dinukilkan Ijma’ ini oleh Imam An-Nawawi, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


Dan wajib bagi mereka untuk mengganti puasa-puasa yang mereka tinggalkan di hari-hari yang lain, sebagaimana hadits aisyah Radhiyallahu’ anhu ketika beliau menjawab pertanyaan seorang wanita tentang wanita yang sedang haid  :


كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة


Artinya “Sesungguhnya hal itu (haid) menimpa kami (kami alami),  maka kami diperintah untuk mengganti puasa dan kami tidak diperintah untuk mengganti sholat” (HR. Bukhori No. 321 Muslim No. 335)


Dan apabila darah wanita yang haid atau sedang nifas berhenti keluar pada siang hari di bulan Ramadhan maka tidak wajib baginya untuk menahan dirinya dari segala sesuatu yang membatalkan hingga terbenamnya matahari. Ini adalah pendapat Mayoritas ulama diantaranya Malik, As-Syafi’i dan satu riwayat dari Ahmad.


Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/368) menyebutkan bahwa diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa tidak mengapa seorang wanita meminum obat penghalang haid apabila obat tersebut telah dikenal . Para ulama juga menyaratkan bahwa obat terebut tidak membawa efek samping yang berbahaya bagi wanita tersebut. Dan apabila haidnya terpotong atau tidak datang disebabkan obat tersebut maka boleh bagi dia untuk berpuasa dan berhaji sebagaimana biasa.


Orang gila tidak diwajibkan berpuasa berdasarkan As-sunnah dan Ijma’ . Sebagaimana dinukil oleh para ulama , salah satunya oleh Imam An-Nawawi, sehingga walinya tidak boleh memaksanya untuk berpuasa.  Apabila sembuh dari gilanya maka tidak diwajibkan untuk mengganti puasa yang tidak dia kerjakan selama dia gila . Ini adalah pendapat Mayoritas ulama.


Begitu juga anak kecil . mereka tidak diwajibkan untuk berpuasa berdasarkan ijma’ yang dinukil oleh Imam An-Nawawi. Ijma’ ini hanya memperkuat dalil yang telah datang bahwa orang gila dan anak kecil tidak dibebani syariat sebagaimana dalam Hadits Aisyah bahwa  Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam bersabda :


رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى يكبر وعن المجنون حتى يعقل


Artinya : “ Pena (Syariat) diangkat dari tiga golongan : Orang tidur hingga terjaga, anak kecil hingga besar (baligh) dan orang gila hingga berakal” (HR. Ibnu Majah 2041 Dishohihkan Oleh Al-Allamah Al-Albani Rahimahullah dalam Al-Irwaul Ghalil No. 297)


Akan tetapi disunnahkan untuk mengajari anak-anak berpuasa sebagai latihan apabila mereka mampu melaksanakannya. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin, Az-zuhri dan As-Syafi’i, sebagaimana dalam hadits Rubayyi’ Bintu Muawidz Radhiyallahu’ anha :


وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الافْطَارِ


Artinya :  “ Dan kami mengajari anak-anak kami berpuasa, dan kami buatkan utuk mereka mainan dari kain wol yang diwarnai, maka apabila salah seorang dari mereka menangis  karena makanan (lapar) kami memberikan mainan itu itu sampai berbuka puasa” (HR. Bukhori No. 1960 dan Muslim No. 1136)


Mujahidin yang sedang berhadapan dengan musuh diperbolehkan bagi mereka untuk tidak berpuasa walaupun sedang berada di daerah sendiri dan tidak dalam keadaan safar. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah. Berdasarkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu’ anhu , Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam :


إنكم قد دنوتم من عدوكم والفطر أقوى لكم


Artinya : “Sesungguhnya kalian telah dekat dengan musuh kalian dan berbuka lebih kuat untuk kalian” (HR. Muslim No. 1120)


Barangsiapa yang dengan sengaja tidak berpuasa atau membatalkan puasanya di bulan Ramadhan tanpa udzur yang syar’i yang telah disebutkan maka tidak wajib menggantinya di hari-hari yang lain dan wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah atas kemaksiatan yang telah dia lakukan. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah dan pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hazm dan Syaikh Muqbil bin Hady.


Hal ini dikarenakan Allah telah menetapkan puasa-puasa tersebut pada hari-hari yang telah dtentukan yakni pada bulan Ramadhan maka barangsiapa yang tidak mengerjakannya pada waktu-waktu yang telah ditentukan Allah tanpa udzur yang syar’i maka dia telah melanggar batasan-batasan Allah dan tidak cukup walaupun dia menggantinya pada hari yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar